Lebih dari sepekan pemerintah berusaha melakukan berbagai upaya untuk menghentikan karhutla di Sumatra dan Kalimantan. Tidak luput juga, Presiden RI memberikan arahan kepada Kepolisian untuk mengusut pihak-pihak yang terlibat karhutla. Upaya tersebut kemudian direalisasikan oleh Kepolisian dengan menetapkan puluhan tersangka baik perorangan maupun korporasi atas kebakaran hutan dan lahan di Sumatra dan Kalimantan.
Pihak kepolisian dan juga KLHK telah melakukan penyegelan lahan milik korporasi yang terindikasi terlibat karhutla. Diungkap oleh pihak Kepolisian bahwa karhutla terjadi karena adanya motif land clearing yang digunakan oleh perorangan atau korporasi. Adapun alasan utama penggunaan motif land clearing adalah untuk percepatan dan biaya yang murah. Hal ini diperkuat data dari BNPB yang menyebut sebesar 99 persen karhutla, 80 persen lahan terbakar akan dijadikan lahan perkebunan.
Motif land clearing yang dilakukan oleh korporasi dalam ajaran hukum pidana masuk pada kategori kesengajaan dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Di mana antara motivasi, tindakan, dan akibat dalam land clearing secara pasti telah terwujud dengan terbakarnya lahan untuk dijadikan lahan perkebunan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Undang-Undang Lingkungan Hidup dalam penjelasan umumnya menyebutkan bahwa penegakan hukum pidana dalam bidang lingkungan hidup harus memperhatikan asas ultimum remedium yang artinya pemidanaan dijadikan sebagai sanksi terakhir setelah pengenaan sanksi administratif. Namun karakteristik ultimum remedium tidak dapat diberlakukan pada beberapa jenis tindak pidana yang diatur dalam uu lingkungan hidup, termasuk pembakaran lahan yang meluas. Oleh karenanya, pengenaan sanksi pidana atas pembakaran lahan merupakan sanksi utama yang kemudian dapat diikuti dengan sanksi lainnya.
Apabila pengenaan sanksi pidana telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka sanksi pidana yang telah dijatuhkan kepada korporasi dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengenaan sanksi administratif tanpa harus melakukan audit lingkungan hidup terlebih dahulu. Maka secara langsung terhadap korporasi yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan manusia dikenakan sanksi pencabutan izin lingkungan sesuai dengan Permen LH No 02/2013. Konsekuensinya, korporasi yang dicabut izin lingkungan tidak dapat melakukan kegiatan usahanya.
Putusan pidana terhadap korporasi yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, dalam hal ini pembakaran lahan yang masif, dapat pula dijadikan sebagai dasar untuk melakukan gugatan ganti rugi. UU LH No. 32/2009 telah memberikan isyarat kepada pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan hidup untuk melakukan gugatan ganti rugi sesuai dengan ketentuan dalam KUH Perdata.
Gugatan ganti rugi dalam keperdataan didasarkan atas adanya perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian pada salah satu atau beberapa pihak sehingga dapat dimintakan ganti rugi. Hal ini senada dengan gugatan ganti rugi atas kerusakan lingkungan, perbuatan melawan hukum korporasi telah dibuktikan dengan adanya vonis pidana, sehingga dengan nyatanya perbuatan melawan hukum korporasi tersebut, maka dapat ganti rugi, baik materiil maupun immaterial.
Korporasi juga tidak hanya dipaksa untuk menerima sanksi pidana penjara dan pidana denda, sanksi pencabutan izin lingkungan dan paksaan untuk melakukan ganti kerugian, korporasi juga diwajibkan untuk melakukan pemulihan atas pencemaran dan kerusakan lingkungan. Hanya saja pemulihan ini sangat sulit untuk direalisasikan. Keengganan korporasi dalam bertanggung jawab dan tidak adanya ketegasan pemerintah menjadikan tindakan pemulihan seakan menjadi tanggung jawab masyarakat yang terdampak.
Hal menarik yang dapat menjadi upaya hukum lainnya adalah dimungkinkannya kelompok masyarakat tertentu mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap pemerintah yang mengeluarkan izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan serta izin lingkungan kepada korporasi-korporasi yang terlibat karhutla. Melalui gugatan tersebut, Pemerintah dapat dipaksa untuk mencabut izin lingkungan, melakukan penegakan hukum baik perdata, pidana maupun administrasi, penanggulangan, dan pemulihan lingkungan serta kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang dirugikan.
Jerat pidana terhadap korporasi yang terlibat memang benar merupakan peran utama kepolisian dan kejaksaan. Namun hal tersebut haruslah diperkuat dengan pemberian sanksi administratif dan gugatan ganti rugi yang diajukan oleh pemerintah serta tuntutan kepada korporasi untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup. Hal tersebut sebagai bentuk hadirnya pemerintah dalam menegakkan hukum dan pelaksana kebijakan di bidang lingkungan hidup untuk melindungi masyarakat yang terdampak.
(mmu/mmu)