Menyaksikan perjuangan aksi massa (mahasiswa) di berbagai daerah, Senin (23/9) yang kemungkinan besar akan berlangsung berhari-hari, melemparkan saya pada memori heroistik kolektif 21 tahun yang lalu, ketika terjadi aksi mahasiswa sebagai representasi opini publik di berbagai daerah yaitu menggulingkan rezim korup dan otoriter Orde Baru, yang kemudian melahirkan reformasi politik 1998. Seakan menapaktilasi, aksi mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta mengulang lokasi aksi 98 dengan tema "Gejayan Memanggil".
Di tempat lain, melalui pesan "perkuliahan hari ini berganti di kantor DPRD", isu-isu yang sama mewarnai aksi mahasiswa di Malang, Cirebon, Samarinda, Bandung, Purwokerto, Makassar, Jakarta dan beberapa daerah lainnya. Persoalan fundamentalnya adalah proses legislasi yang dianggap mencederai dari aspek formil maupun materiil. Mulai dari ketiadaan dalam daftar proses legislasi (prolegnas), implementasi tanpa melibatkan audiensi publik, dan terkesan tergesa-gesa karena masa jabatan legislator yang akan berakhir di penghujung bulan ini. Hal ini berdampak pada beberapa pasal yang menjadi aspek materiil mengundang perdebatan (kontroversi), yang sejatinya memang memerlukan proses dialog publik yang holistik.
Setidaknya ada lima peraturan perundang-undangan yang dianggap memiliki persoalan di atas, yang menjadi sasaran kemarahan publik. Yaitu Revisi UU KPK yang kemudian disahkan menjadi UU KPK pada 17 September, dan tiga rancangan undang-undang (RUU) yaitu RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pertanahan, dan RUU Ketenagakerjaan. Sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) justru tidak mendapatkan prioritas.
UU KPK yang baru disahkan dengan tempo sebelas hari dianggap sebagian besar publik mengebiri kekuatan penegakan hukum korupsi KPK, yang selama ini menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di semua partikel kekuasaan. Hampir semua elite trias-politika telah menjadi pesakitan korupsi oleh KPK, sebut saja Akil Mochtar di MK, Setya Novanto di DPR, dan yang terbaru Imam Nahrawi di Kemenpora.
Di lain hal, ada upaya untuk segera mengesahkan secara cepat tanpa memperhatikan kritik publik terkait materi beberapa pasal di RUU KUHP. Ada kebebasan hak sipil dan media yang terpasung, dan di sisi lain ada potensi otoritarianisme pemerintah. Di RUU lain seperti RUU Pertanahan, secara substansi lebih menguntungkan negara dan korporasi dalam mengakuisisi tanah rakyat, dengan berbagai atribut denda dan pidananya.
Potret proses dan produksi legislasi yang dikerjakan dengan mekanisme tergesa-gesa tanpa menghadirkan ruang publik yang simetris dan berpeluang mengancam penegakan supremasi hukum yang adil dan proporsional, kekuatan dalam pemberantasan kejahatan korupsi (extra ordinary crime), dan pembatasan hak-hak sipil menjadi alasan rasional munculnya gerakan aksi massa. Gedung DPR dan DPRD sebagai objek aksi massa, yang sejatinya menjadi rumah deliberasi publik, rupanya hanya sebagai panggung dramaturgi politik hipokrit, yaitu politik yang penuh dengan kemunafikan dan penipuan secara telanjang di depan publik.
Gerakan Sosial Baru
Aktor-aktor Gerakan Sosial Baru (GBS) adalah struktur sosial masyarakat yang rasional dan menengah. Bukan lagi persoalan konflik ekonomi yang menjadi lokus utama, seperti halnya gerakan sosial klasik, namun persoalan-persoalan yang menyangkut ketidakadilan identitas yang meresahkan kolektivitas publik, seperti penegasian hak-hak asasi manusia, krisis lingkungan, dan lain-lain yang dipicu oleh pelanggaran penyelenggara kekuasaan politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aksi mahasiswa di beberapa kota yang menolak UU KPK bisa dimaknai; pertama, sebagai pengejawantahan suara rasionalitas publik. Memang ada dua jalur konstitusional untuk mengubah hasil, yaitu melalui perppu dan judicial review di MK. Secara psikologi politik, gerakan aksi massa ini memberikan pesan kepada pemegang kuasa kedua jalur tersebut bahwa publik geram dengan perilaku elite politik legislator.
Kedua, sebagai pesan kepada capim KPK yang baru, bahwa di tengah kritik deras publik terhadap proses keterpilihannya serta peraturan yang berubah, mereka harus menunjukkan integritas, kapabilitas, dan konsistensi perjuangan melawan korupsi, setidaknya berkaca pada periode sebelumnya.
Ketiga, mengkonfirmasi kepada legislator yang baru baik itu di DPR maupun DPRD, bahwa mereka harus benar-benar menunjukkan kredibilitas dan membangun ruang publik yang riil di dalam memproduksi legislasi.
Di dalam iklim demokrasi yang telah disepakati sejak 1998, pembentukan UU memang telah di atur bahwa harus melalui kolaborasi dua lembaga politik, yaitu eksekutif dan legislatif. Ini perlu pengejawantahan lebih lanjut, seperti keharusan setiap partai politik untuk mensosialisasikan dan mendeliberasi RUU sampai di level daerah melalui instrumen partai di daerah dan keterbukaan akses informasi dan komunikasi melalui virtual (website, sosial media, dll).
Di sisi lain, secara sistem dan konfigurasi politik pasca-Pemilu 2019 menghilangkan personifikasi kekuatan ide-ide politik alternatif yang kemudian diperparah dengan dinamika disorientasi politik partai partai. Keberadaan parpol masih berkelindan dengan upaya-upaya politik pragmatisme dibandingkan politik ide dan nilai-nilai yang memperjuangkan nasib rakyat (politik ideologi), sehingga tidak terbangunnya instrumen oposisi yang solid.
Revolusi Demokrasi
Di tengah deruan infiltrasi revolusi industri 4.0 yang membangun revolusi peradaban sosial masyarakat digital-virtual, seperti membangun komunitas dan opini politik melalui media sosial, "kesediaan" mahasiswa turun ke jalan adalah manifestasi kritik rasionalitas dan orisinalitas publik. Apa yang telah dan tengah terjadi adalah akumulasi dari kejengahan publik selama 21 tahun. Secara angka, memang usia menjadi relatif, namun bila berbicara kualitas demokrasi dengan nilai-nilai penguatan keterlibatan publik, kebebasan dan hak sipil, keadilan sosial dan penegakan hukum, memang perlu sebuah perubahan politik yang mendesak.
Pertama, revolusi demokrasi oligarki menjadi demokrasi publik. Yaitu melibatkan segenap elemen publik terhadap isu dan kebijakan politik secara simetris, terbuka, dan konsisten. Banyak impelementasi ide-ide revolutif selanjutnya, seperti menjalankan fungsi kelembagaan pemerintah maupun partai politik sampai di level terbawah sebagai kanal sosialisasi dan komunikasi serta penjaringan aspirasi yang dialogis dengan masyarakat (input-output). Lalu melibatkan lembaga-lembaga publik non-government di dalam menjembatani dialog kebijakan politik pemerintah dengan publik seperti membedah materiil rancangan undang-undang di universitas, organisasi masyarakat, dan media massa. Selama ini, ketiganya jarang dilibatkan secara formil dan substansial kecuali hanya sekedar seremonial.
Kedua, membuka seluas-luasnya akses informasi kepada publik. Mulai dari penyediaan sarana informasi dan komunikasi melalui jejaring virtual, memberi ruang partisipasi elemen masyarakat dalam forum diskusi terbuka secara kontinu baik di level pemerintahan lokal maupun nasional sampai pembangunan mekanisme pelaporan publik yang dapat di evaluasi oleh semua pihak. Kedua langkah revolusi politik tersebut akan memupus kejengkelan publik, mengikis ketidakpercayaan publik, mengeliminasi aktor-aktor elite politik yang tidak kredibel dan tidak berintegritas serta membangun sistem demokrasi yang substansial.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini