"Di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tidak ada dibahas revisi Undang-Undang KPK sehingga kemudian aneh kalau kemudian dipaksakan pembahasan revisi Undang-Undang KPK itu karena sebenarnya melanggar ketentuan Undang-Undang 12 (UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) dan Tatib DPR (Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 juncto Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Tertib) sendiri soal prioritas itu," ucap peneliti PUSaKO Feri Amsari kepada wartawan, Senin (16/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Makanya timbul asumsinya begini, bagaimana mungkin DPR membahas sesuatu yang bukan ada di Prolegnas Prioritas 2019, mengabaikan prosedur yang ada, dan memaksakan menjalankan itu dan begitu pede di akhir masa jabatannya. Kan aneh. Ngapain dibahas di akhir masa jabatan yang pendek kalau tidak ada sinyal dari Istana bahwa ini akan disetujui bersama," kata Feri.
"Saya dan teman-teman di PUSaKO menduga jangan-jangan sudah ada sinyal-sinyal ke DPR kalau ini dibahas maka akan disetujui bersama, sehingga dugaan kita sedari awal presiden sudah terlibat menggagas ini," imbuh Feri.
Feri mengatakan pembahasan revisi UU KPK itu melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Konsekuensi di balik dugaan pelanggaran itu disebut Feri pembahasan revisi UU KPK cacat formil.
"Konsekuensinya kalau menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 ada beberapa tindakan administratif yang dilanggar, tidak sesuai ketentuan undang-undang, harusnya masuk prioritas ternyata tidak," ucap Feri.
"Maka sebenarnya bisa diperbaiki Presiden kalau Presiden tidak berkeinginan menentang ketentuan undang-undang yaitu dengan cara menerbitkan keputusan atau tindakan tata usaha negara baru yang kemudian mencabut kebijakan dan tindakan tata usaha negara yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang itu," kata Feri.
Berikut ini bagan perumusan revisi UU KPK yang disebut PUSaKO cacat formil: (dhn/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini