Sayonara ke Pengusutan Kasus Megakorupsi Jika Revisi UU KPK Resmi

Round-Up

Sayonara ke Pengusutan Kasus Megakorupsi Jika Revisi UU KPK Resmi

Tim detikcom - detikNews
Senin, 16 Sep 2019 07:45 WIB
Dokumentasi aksi tolak revisi UU KPK (Foto: dok detikcom)
Jakarta - Revisi UU KPK terus bergulir di Senayan. Namun semakin banyak kegelisahan mengemuka bila pada akhirnya pasal-pasal yang meresahkan dalam draf revisi UU KPK itu benar-benar disahkan.

Memangnya apa yang dikhawatirkan?

KPK sedari awal menyampaikan poin per poin dalam draf revisi UU KPK itu yang akan melemahkan pemberantasan korupsi. Revisi UU KPK awalnya diusulkan DPR. Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelahnya merumuskan Daftar Inventaris Masalah (DIM) mengklaim mereduksi sebagian besar usulan dari DPR.



SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi inisiatif DPR dalam RUU KPK yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK," kata Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (13/9/2019).

Namun ada satu hal yang perlu benar-benar disorot yaitu tentang kewenangan untuk menghentikan penyidikan atau penuntutan terhadap suatu kasus korupsi. Memang kewenangan itu sedari awal KPK terbentuk belum ada karena disebut-sebut agar KPK sangat hati-hati mengusut suatu kasus agar benar-benar tidak cacat proses hukumnya.

Namun dalam draf revisi UU KPK yang diusulkan DPR, kewenangan itu diberikan pada KPK. Berikut isi pasal dalam draf revisi UU KPK mengenai penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut:




Draf Revisi UU KPK

Pasal 40

1. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 tahun.
2. Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
3. Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik.
4. Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat dicabut oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.



Presiden Jokowi menilai kewenangan SP3 (surat pemberitahuan penghentian penyidikan) diperlukan bagi KPK. Namun Jokowi ingin jangka waktu 1 tahun yang tertera dalam pasal itu diperpanjang menjadi 2 tahun.

Dengan adanya kewenangan itu dikhawatirkan KPK tidak akan pernah lagi menangani kasus-kasus besar. Kok bisa?

"Penanganan kasus korupsi itu sifatnya kasuistik. Membatasi waktu penanganan perkara justru akan mempersulit dan bukan tidak mungkin kasus-kasus besar tidak akan naik, misal e-KTP, BLBI, dan kasus-kasus korupsi di sektor kehutanan, perkebunan atau tambang," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada detikcom, Minggu (15/9/2019).




Kasus-kasus yang disebutkan Febri memang ditangani dalam waktu yang lama. Bukan tanpa alasan karena memang KPK membutuhkan audit yang memakan waktu untuk menemukan potensi kerugian keuangan negara sebagai salah satu petunjuk pengusutan kasus.

"Berbeda dengan kasus-kasus OTT yang memang maksimal proses penyidikan dilakukan 120 hari yang dihitung dari lama penahanan tersangka," kata Febri.



Dalam catatan detikcom, sebagai contoh kasus dugaan korupsi terkait proyek e-KTP. Megaproyek itu direncanakan anggarannya oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada tahun 2010.

Tahun depannya yaitu 2011, proses lelang berlangsung tetapi diselimuti kontroversi. Pada saat itu KPK mulai memantau perjalanan proyek e-KTP hingga pada 2014 menjerat seorang tersangka yaitu Sugiharto sebagai mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan di Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Dua tahun berlalu atau pada 2016 KPK menetapkan tersangka baru yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Irman. Baru pada 2017 persidangan untuk 2 tersangka itu berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Kasus ini pun masih bergulir di KPK hingga menjerat nama-nama besar seperti mantan Ketua DPR Setya Novanto. KPK juga memastikan kasus ini masih terus diusut.

Selain itu ada pula kasus yang menjadi perhatian publik yaitu yang terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Penyelidikan kasus terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI dilakukan KPK sejak Januari 2013.

Barulah pada Maret 2017, KPK menetapkan tersangka pertama yaitu mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Namun kasus ini dipenuhi kontroversi ketika Syafruddin dibebaskan Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi, padahal Syafruddin sudah divonis 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan pada pengadilan tingkat pertama dan vonisnya ditambah pada tingkat banding menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.




Lalu ada lagi kasus yang baru-baru ini dirilis KPK yaitu terkait dengan perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Service Pte Ltd (PES). Kasus ini berkaitan erat dengan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) yang telah dibubarkan Jokowi pada tahun 2015.

Febri menyampaikan penyelidikan kasus ini berlangsung sejak Juni 2014 hingga akhirnya pada Agustus 2019 KPK menetapkan seorang tersangka yaitu Bambang Irianto sebagai Managing Director PES. Bambang juga disebut pernah menjabat sebagai Direktur Utama Petral. Kasus ini masih berlangsung di KPK.

Dengan kondisi seperti itu, bila revisi UU KPK digolkan dan akhirnya KPK memiliki kewenangan menghentikan penyidikan atau penuntutan, akankah tidak ada lagi kasus-kasus megakorupsi yang terbongkar di negeri ini?

(dhn/fdu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads