"Kalau saya berpendapat memang harus begitu (RUU KPK dibahas di DPR periode 2019-2024)," kata Mahfud kepada wartawan di d'TAMBIR, Kelurahan Rejowinangun, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, Minggu (15/9/2019).
"Saya sebagai rakyat hanya minta agar (pembahasan RUU KPK) itu dikembalikan ke prosedur-prosedur yang tersedia. Materinya menurut saya tidak jelek semuanya, materinya tidak jelek. Kita jaga bersama materi yang bagus," lanjutnya.
Mahfud mengingatkan, jika pembahasan RUU KPK dipaksakan oleh DPR periode 2014-2019 maka dikhawatirkan produk UU yang dihasilkan akan cacat formil. Apabila itu terjadi, bisa saja masyarakat sipil menggugat produk UU tersebut ke MK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara prosedur, kata Mahfud, Presiden Jokowi sebenarnya masih bisa menunda pembahasan RUU KPK meski belum lama ini pihak Istana telah melayangkan surat Presiden (Supres) ke DPR. Tinggal sekarang apa langkah yang akan diambil oleh Jokowi.
"Tetapi prosedurnya memang begitu. Prosedur itu DPR harus melakukan dengar pendapat publik menurut undang-undang, karena (RUU KPK) ini undang-undang biasa," ungkap pakar hukum dan tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Baca juga: Istana: Jokowi Tak Akan Panggil Pimpinan KPK |
"Prosedurnya dibahas dulu, kemudian pandangan umum di fraksi-fraksi disampaikan ke Presiden, Presiden juga membahas diberi waktu 60 hari, Presiden diberi waktu 60 hari menurut pasal 49 undang-undang nomor 12 tahun 2011," sambungnya.
Sementara masa jabatan DPR periode 2014-2019 tinggal 18 hari lagi. "Ini (pembahasan RUU KPK) hanya persoalan prosedur kalau menurut saya, persoalan waktu. Soal materi ini sudah lama didiskusikan dan harus segera diputuskan memang," tutupnya.
Simak video "Poin-poin yang Ditolak Jokowi di Dalam Revisi UU KPK":
(ush/bgs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini