Per Agustus lalu, PMI Manufaktur Indonesia berada pada level 49, menurun dibanding Mei yang berada pada level 51,2. Penurunan tersebut menjadi indikasi pesimisme pelaku sektor manufaktur terhadap prospek kinerja industri ke depan. Penurunan prospek kinerja tersebut akan berdampak pada kinerja keuangan perusahaan yang kemudian terefleksi pada kinerja saham emiten industri di pasar modal. Oleh karenanya, para investor melihat investasi pada pasar modal bukan lagi hal yang menarik, sehingga mengalihkan investasi pada aset yang lebih aman yakni emas. Permintaan emas yang kian meningkat, membuat harganya makin menjulang.
Mengutip data investing.com, harga emas di pasar global mencapai USD 1.560/troy ounce, dan merupakan yang tertinggi sejak 2011. Pada pasar domestik, lonjakan harga emas juga terjadi. Per 5 September, harga emas Antam mencapai Rp 72,6 juta per 100 gram dan Rp 775 ribu per 1 gram, yang menjadi rekor harga emas Antam tertinggi sepanjang sejarah. Peralihan aksi investasi dari portofolio ke aset emas yang membuat harga emas menjadi melejit merupakan indikator risiko dan ketidakpastian ekonomi yang nyata. Menyikapi kondisi ketidakpastian tersebut, respons kebijakan harus mampu menjadi penyeimbang serta tetap menjaga momentum pertumbuhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat kondisi tersebut, dikaitkan dengan kebijakan moneter, keputusan menurunkan BI 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) ke level 5.50% merupakan langkah yang tepat. Arah kebijakan moneter yang diambil cenderung bernuansa dovish (longgar) tersebut dinilai tepat di tengah ketidakpastian perekonomian. Respons kebijakan moneter longgar diperlukan guna menstimulus pasar dengan tambahan likuiditas. Artinya, meski sedang dalam mengalami tekanan kinerja produksi, industri domestik tidak harus menanggung biaya dana yang mahal untuk menunjang aktivitas operasionalnya.
Dari sisi konsumsi, penurunan suku bunga acuan juga diharapkan menjaga daya beli masyarakat, yang diharapkan dapat menopang laju pertumbuhan di tengah ketidakpastian ekonomi. Selain itu, kebijakan moneter longgar juga menjadi sinyalemen bagi pelaku pasar bahwa perekonomian domestik dalam kondisi stabil, dengan terjaganya ekspektasi inflasi dan terkendalinya nilai tukar Rupiah/USD.
Langkah serupa juga diambil oleh banyak Bank Sentral baik negara maju maupun negara berkembang. Nuansa kebijakan dovish memang harus nyata di dalam kondisi ketidakpastian. Jika Bank Sentral memaksa untuk berperilaku hawkish (pandangan kebijakan moneter ketat), dikhawatirkan justru akan membuat ketidakpastian kian nyata. Dengan demikian, kebijakan dovish sekali lagi merupakan langkah yang tepat diambil di tengah semakin meningkatnya indikasi ketidakpastian ekonomi. Meski demikian, kebijakan moneter yang dijalankan saat ini diharapkan tetap harus memperhatikan kepercayaan pelaku pasar.
Kebijakan ke Depan
Nuansa dovish di satu sisi dapat menjadi indikasi stabilitas perekonomian, terutama dari sisi inflasi dan nilai tukar guna menahan tekanan eksternal. Namun di sisi lain, pelonggaran moneter bisa menjadi potensi instabilitas jika dilihat dari daya tarik investasi portofolio. Perekonomian Indonesia saat ini masih tergantung pada aliran likuiditas global guna membiayai defisit neraca transaksi berjalan. Artinya, kebijakan moneter yang dilakukan saat ini harus mampu menyasar dua arah mata angin.
Dengan demikian diperlukan kalkulasi yang mana kebijakan moneter longgar tetap menjaga daya tarik investasi portofolio. Hal ini sangat penting untuk menjaga risk appetite (selera) para investor yang akan menanamkan dananya pada instrumen investasi di pasar keuangan Indonesia.
Sekali lagi, pelonggaran kebijakan moneter masih merupakan upaya terbaik di tengah ketidakpastian ekonomi. Tetapi untuk ke depan, kebijakan moneter perlu dievaluasi kembali terutama dengan mempertimbangkan langkah kebijakan moneter AS yang hingga saat ini belum jelas arahnya, dovish ataupun hawkish. Jika kebijakan moneter AS mengikuti pandangan The Fed yang cenderung hawkish, maka kebijakan moneter BI yang cenderung dovish agar lebih dipertimbangkan, begitu juga sebaliknya.
Untuk saat ini, mengelola dan meminimalisasi risiko makro menjadi hal mutlak guna menjaga risk appetite para investor di tengah kebijakan moneter yang cenderung bernuansa dovish.
Teguh Santoso dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEB Unpad
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini