"Selama ini sikap Presiden selalu swing, tidak jelas sikapnya dalam hal KPK ini. Usul saya, Presiden harus berpidato depan teman-teman media, menyatakan sikapnya apakah dia berencana terlibat dalam upaya mengubah Undang-Undang KPK yang berujung matinya KPK, atau Presiden mewakili aspirasi publik menolak perubahan ini dan menyatakan langsung agar polemik ini berhenti," kata Direktur PUSaKO Fakultas Hukum Unand, Feri Amsari, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (8/9/2019).
Menurut Feri, Jokowi tentu tak menginginkan suasana politik yang gaduh. Sikap Jokowi, tambah Feri, jadi kunci dari penyelesaian pro dan kontra RUU KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Feri menegaskan RUU KPK cacat secara formil karena tak ada di daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Feri berpendapat alasan DPR menggodok RUU KPK saat ini tak masuk akal karena hal tersebut sebelumnya dibahas bertahun-tahun lalu.
"Nah sekarang itu tidak ada di dalam Prolegnas prioritas, tiba-tiba naik di tengah jalan. Alasan DPR (RUU KPK) itu sudah pernah dibahas 2016, oleh karena itu ditunda, maka dibahas 2018, itu alasan yang tidak masuk akal," terang Feri.
"Kedua, alasannya sudah ada putusan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang menyatakan bahwa wajib bagi DPR memenuhi prolegnas yang ada, sehingga kemudian tanpa ada surprise dari Presiden, (RUU KPK) bisa dibahas, ini juga tidak masuk akal," sambung Feri.
Feri menuturkan, bila kata 'wajib' dalam putusan MKD dijadikan alasan, bukan serta-merta DPR boleh tak mengikuti syarat prosedural pembentukan undang-undang. Dia pun menilai RUU KPK diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun dia pesimistis jika nantinya ada pihak yang menggugat undang-undang tersebut, MK akan bersikap profesional.
"Saya pikir rentan memang (digugat ke MK), tetapi partai sudah bermain di banyak titik, kuasai parlemen, kuasai Presiden, menguasai MK," pungkas Feri.
Attachments area
Simak Video "Kain Hitam Selimuti KPK"
(aud/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini