Seperti dilansir AFP, Senin (2/9/2019), para demonstran prodemokrasi di Hong Kong yang berpakaian serba hitam sengaja berdiri di pintu kereta, mencegah pintu itu menutup secara otomatis. Aksi semacam ini dilakukan di sejumlah stasiun kereta bawah tanah pada Senin (2/9) pagi waktu setempat.
Aksi para demonstran ini memicu penundaan besar-besaran pada sistem layanan kereta bawah tanah di Hong Kong.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain mengganggu layanan kereta bawah tanah, para demonstran juga menyerukan digelarnya aksi mogok kerja besar-besaran pada Senin (2/9) waktu setempat. Sementara itu, para mahasiswa merencanakan sebuah aksi massa pada sore.
Diketahui bahwa universitas-universitas di Hong Kong dijadwalkan kembali memulai aktivitas perkuliahan pada Senin (2/9) waktu setempat, setelah jeda musim panas. Namun para mahasiswa yang menjadi tulang punggung gerakan unjuk rasa di Hong Kong, berencana untuk melakukan boikot terhadap perkuliahan selama dua pekan ke depan.
Aksi semacam ini dilakukan setelah sebelumnya pada akhir pekan, sejumlah demonstran yang anarkis dan radikal memicu kekacauan di bandara juga memancing bentrokan terbaru dengan polisi setempat.
![]() |
Pada Minggu (1/9) waktu setempat, sedikitnya puluhan penerbangan di Bandara Internasional Hong Kong dibatalkan setelah para demonstran memblokir ruas jalan menuju bandara. Aksi pemblokiran terjadi setelah polisi berhasil menghalangi para demonstran untuk menduduki terminal bandara.
Sehari sebelumnya, atau pada Sabtu (31/8) waktu setempat, sekelompok demonstran garis keras memicu kerusuhan di pusat kota Hong Kong. Mereka melakukan pembakaran di luar gedung parlemen dan melemparkan bom molotov ke arah polisi yang berjaga.
Polisi terpaksa melepas tembakan gas air mata dan meriam air yang mengandung pewarna kimia untuk membubarkan demonstran yang anarkis. Tongkat pemukul juga dikerahkan. Rekaman video yang diambil media-media lokal menunjukkan polisi memukuli kerumunan orang yang bersembunyi di dalam sebuah gerbong kereta api. Amnesty International menyebut aksi polisi itu 'mengerikan'.
Hong Kong diketahui merupakan wilayah semi-otonomi yang masih bagian dari China, namun menganut kebijakan 'satu negara, dua sistem' yang memberikan hak kepada warganya untuk mendapat kebebasan dan menganut sistem demokrasi.
Pemerintah China daratan selama ini berkomitmen untuk memberikan hak-hak tersebut kepada warga Hong Kong, yang diatur dalam perjanjian saat Hong Kong diserahkan oleh Inggris tahun 1997 lalu. Pengikisan terhadap hak-hak itu yang dilakukan China menjadi pemicu gerakan unjuk rasa secara besar-besaran.
Unjuk rasa di Hong Kong yang berawal sebagai protes terhadap rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang mengatur ekstradisi tersangka ke China daratan, kini meluas menjadi seruan untuk reformasi demokrasi.
Dalam aksi protes yang sudah berlangsung selama tiga bulan terakhir, para demonstran menuntut agar RUU ekstradisi dicabut secara permanen dan penyelidikan independen digelar terhadap taktik polisi dalam menangani unjuk rasa. Demonstran juga menginginkan agar warga Hong Kong diperbolehkan memilih sendiri pemimpin serta anggota parlemen yang mewakili mereka.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini