Karim mengatakan wacana ini kontraproduktif dengan cita-cita pemerintahan berbasis digital bukan konvensional. Artinya, pusat pemerintah tidak perlu lagi berada dalam sebuah kawasan. Seperti halnya alasan pemindahan ibu kota Jabar.
"Jangan pernah berfikir pusat pemerintahan itu harus terpusat secara fisik. Loh buat apa mengembangkan e-government. Jangan ngomongnya e-goverment tapi mikirnya penataan kota secara konvensional. Tidak cukup alasan memindahkan ibu kota karena beban Bandung saat ini," kata Karim saat dihubungi, Jumat (30/8/2019).
Menurutnya filosofi pengembangan e-government tak lain untuk mengatasi beban pembangunan fisik yang besar. Sehingga, menghadirkan solusi agar mengurangi beban pembangunan fisik dengan mengoptimalkan digitalisasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan untuk memindahkan ibu kota membutuhkan biaya tak sedikit. Terlebih, tiga daerah yang menjadi calon sementara ibu kota baru yakni Tegalluar, Walini dan Rebana (Cirebon-Subang-Majalengka) sudah diproykesikan menjadi pusat ekonomi baru.
"Misalnya dikembangkannya sebagai pusat ekonomi baru, sebaiknya tidak ke sana. Tanpa pemindahan ibu kota ke sana, daerah itu sudah potensial maju. Kalau mau ke Jabar Selatan, buka wilayah di mana efeknya terasa daerah sekitarnya. Ya konsekuensinya biaya yang dikeluarkan besar," tutur dia.
Dia menilai belum ada urgensinya pemindahan ibu kota ini direalisasikan. Terkecuali memiliki tujuan lain yaitu mengembalikan otoritas sejarah Sunda Kelapa.
"Misalnya mengembalikan otensitas sejarah Jabar yang bertolak dari Sunda Kepala. Itu pun kalau ibu kota Jakarta dipindah ke Kaltim, maka sudah saja Ibu Kota Jabar pindah ke Jakarta dengan pelimpahan semua aset sehingga jadi pusat Jabar. Otomatis Jakarta jadi wilayah Jabar. Kalau bermimpi ya sekalian," ujar Karim. (mud/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini