Jakarta - Pembatasan akses
internet di Papua menuai kritik. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) kebanjiran somasi.
Pemerintah membatasi akses internet di beberapa wilayah Papua dan Papua Barat akibat demo menolak rasialisme berujung kerusuhan di Bumi Cenderawasih. Namun, pada Rabu (21/8), pemerintah meningkatkannya jadi pemblokiran akses di wilayah tersebut.
Pada Senin (26/8/2019), puluhan organisasi kemasyarakatan (ormas) bergerak ke kantor Kominfo. Mereka menyerahkan surat somasi terkait pembatasan akses internet di Papua.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami perwakilan 20 organisasi kemasyarakatan sipil ke sini untuk serahkan surat somasi kedua untuk Menkominfo dan Presiden Jokowi," ujar Executive Director SAFEnet Damar Juniarto di kantor Kominfo, Jakarta.
Dalam pertemuan dengan
Rudiantara tersebut, ada belasan ribu orang yang satu suara agar pemerintah menghentikan pemblokiran internet di Bumi Cenderawasih. Hal itu diketahui dari petisi
online 'nyalakan internet di Papua' yang sudah ditandatangani lebih dari 11 ribu orang.
"Kami sampaikan surat somasi ini. Pada intinya mengkritisi dasar hukum yang digunakan Kominfo untuk membatasi akses informasi dalam bentuk
throttling (pelambatan akses/
bandwidth) dan
blackout," ucap Damar.
Adapun 20 ormas sipil yang dimaksud adalah YLBHI, Kontras, LBH Pers, ICJR, SAFEnet, Amnesty International Indonesia, Yayasan Pustaka, AJI, Greenpeace, Perkumpulan Jubi, ELSAM, Yayasan Satu Keadilan, Federasi Kontras, Vivat Indonesia, AJAR, Walhi, YPII, PAHAM Papua, GARDA-P, dan FIM-WP.
Di sisi lain, pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat, menurut pemerintah, bukan tanpa alasan.
Rudiantara menyebut pihaknya masih membatasi akses
internet di Papua dan Papua Barat karena masih banyak
hoax. Pihaknya mengantongi data lebih dari 230 ribu URL
hoax terkait Papua diviralkan.
"Kalau dari sisi dunia nyata memang tidak ada demo lagi. Tapi di dunia maya ada 230 ribu URL yang memviralkan
hoax. Saya ada catatannya. Lebih dari 230 ribu URL," ujar Rudiantara di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (26/8).
"Artinya, URL kanal yang digunakan. Yang paling banyak Twitter. Itu kan masif. Artinya, kalau kontennya yang sifatnya
hoax itu macam-macam, ada berita bohong, menghasut, yang paling parah mengadu domba," sebut dia.
Rudiantara berharap bisa secepatnya membuka pembatasan akses internet. Namun, dia menegaskan, kebijakan Kominfo tetap mengacu pada aturan yang berlaku.
"Kominfo senantiasa melakukan ini dengan dasar UU ITE, UU ITE mengacunya pada UUD 1945. Di UUD 1945, kita hormati hak asasi manusia di Pasal 28j. Dan itu memang diperbolehkan dilakukan pembatasan mengacu pada UU yang berlaku," kata Rudiantara.
Rudiantara meminta maaf kepada warga yang terdampak pembatasan akses. Dia menambahkan, segala cara sudah dilakukan untuk menekan
hoax supaya masyarakat di Papua dan Papua Barat tidak terpancing untuk melakukan tindak kekerasan. Rudiantara membandingkan dengan pembatasan akses internet saat kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta.
"Jadi bukan masalah pembatasan saja. Semua kita lakukan. Hampir sama dengan waktu kejadian Mei kemarin, tapi tidak sama persis. Kalau kemarin kan video dan gambar yang dibatasi, ini data yang dibatasi," kata Rudiantara.
Tonton Video Aktivis Tuding Ada Politikus yang Adu Domba Banser-Warga Papua:[Gambas:Video 20detik]
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini