Seperti dilansir AFP, Rabu (14/8/2019), bocah laki-laki berusia 10 tahun itu sedang berada di atas perahu bersama dua kakaknya di perairan dekat kota Balabac saat dia ditarik ke dalam air oleh seekor buaya air asin. Wilayah Balabac dikenal sebagai tempat pertemuan antara manusia dengan hewan liar berukuran besar itu.
Ayah dari bocah ini gagal menemukan anaknya setelah melakukan pencarian semalaman. Namun seorang nelayan lokal berhasil menemukan jenazah bocah ini di area rawa hutan mangrove pada Senin (12/8) tengah malam waktu setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menyusutnya habitat reptil ini disinyalir menjadi pemicu serangan terhadap manusia yang terjadi beberapa kali. Pertumbuhan populasi dan aktivitas pembangunan di Filipina secara besar-besaran secara terus-menerus telah menginvasi habitat reptil tersebut dan memaksa buaya-buaya itu pindah ke area rawa lebih sempit.
Manusia dan buaya yang tinggal di area yang sama tentu memicu konfrontasi tak diduga, yang dalam beberapa kasus manusia tewas diserang atau dimutilasi oleh hewan liar.
"Sejak tahun 2015, kami tidak pernah mendapatkan nol kasus serangan (buaya di Balabac)," ujar juru bicara dewan pemerintah, Jovic Pabello, dalam pernyataannya.
"Ini menjadi konflik penggunaan air," imbuh Pabello yang mewakili dewan yang bekerja untuk pelestarian lingkungan di Pulau Palawan, yang menjadi lokasi Balabac.
Buaya air asin yang juga disebut 'estuarine crocodile' merupakan salah satu reptil terbesar di dunia. Buaya jenis ini bisa hidup hingga panjang 6 meter dan berat hingga 1 ton.
Sebelumnya pada Februari lalu, seekor buaya menyerang seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun saat bocah itu berenang di salah satu sungai di Balabac. Bocah itu berhasil meloloskan diri saat saudara-saudaranya memukul kepala buaya itu dengan dayung.
Pada Februari tahun 2018, seorang nelayan kepiting di Balabac tewas hingga jasadnya setengah dimakan oleh seekor buaya air tawar.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini