Koopssus Didebat, TNI Ajak Komnas HAM Terlibat

Round-Up

Koopssus Didebat, TNI Ajak Komnas HAM Terlibat

Tim detikcom - detikNews
Jumat, 09 Agu 2019 21:00 WIB
Foto: Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI telah diresmikan. (Grandyos Zafna-detikcom)
Jakarta - TNI menjawab Komnas HAM yang meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menandatangani draf perpres agar TNI tidak dilibatkan dalam penanganan terorisme karena khawatir terjadi pelanggaran HAM. TNI mengajak Komnas HAM terlibat dalam penanggulangan terorisme.

Awalnya, Komnas HAM menilai perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme berpotensi adanya pelanggaran HAM. Karena itu, Komnas HAM akan menyurati Jokowi untuk tidak menandatangani draf perpres tersebut.

"Kami berharap presiden tidak menandatangani (draf) perpres tersebut dan mengevaluasi kembali fungsi dan tugas pokok Koopssus. Ini kan sudah lama kami minta tidak melampaui batas, ternyata cuma ganti nama dari Koopssusgab menjadi Koopssus saja," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Jakarta Selatan, Kamis (8/7/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Choirul mengatakan perpres itu mengatur ruang lingkup terlalu luas meliputi tugas penangkapan, penindakan, dan pemulihan yang dalam perspektif hukum dapat dimaknai sebagai sebagai tindakan intelijen, penyelidikan, penyidikan, bahkan sampai dengan tindakan pemulihan. Tindakan penangkalan atau pencegahan radikalisme dikhawatirkan dapat melampaui kewenangan dan tugas pokok TNI sendiri serta berpotensi berbenturan dengan instansi lain seperti BNPT.

"Apalagi menggunakan skema teritorial itu nggak pekerjaan militer, di mana-mana di negara di dunia ini negara demokratis, itu bukan pekerjaan militer. Itu kerjaan polisi dan aktor-aktor lain yang memang punya kemampuan untuk menangkal radikalisme. Lebih penting guru daripada TNI dalam konteks pencegahan radikalisme," kata Choirul.

Menurut Choirul, perpres itu seharusnya mengatur secara rinci di situasi apa misalnya TNI baru dilibatkan dalam penanganan terorisme. Pada draf pasal 9 ayat 2 perpres tersebut, penindakan mengatasi aksi terorisme dilaksanakan dengan menggunakan strategi, taktik, dan teknik militer sesuai dengan doktrin TNI.


Hal itu dinilai berpotensi melanggar HAM karena militer dalam doktrinnya adalah alat perang untuk menghancurkan musuh, bukan penindakan dan dilanjutkan pada proses hukum pengadilan. Sementara kalau kepolisian ada mekanisme praperadilan bila keberatan dengan penangkapan.

"Yang tadi saya bilang kalau kita bikin skala 1-10, 9-10, boleh lah TNI terlibat, tapi ada batasannya dan ada level tindakannya kalau skalanya belum sampai segitu ya nggak boleh ikut," ujarnya.

Selain itu, dalam draf perpres pasal 17 mengatur sumber pendanaan untuk mengatasi aksi terorisme bersumber APBN, APBD, dan sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Poin tersebut dinilai bisa berpotensi pelanggaran yang menyebabkan ketidakprofesionalan TNI.

"Soal postur pendanaan, sejak awal pendanaan TNI itu hanya boleh dilakukan oleh APBN, APBD pun juga nggak boleh. Ya masak ketegangan itu nanti kalau tentara di satu tempat lebih oke di tempat lain nggak oke yang ada perang sendiri nanti tentaranya," ungkapnya.

Dia menilai draf perpres itu bertentangan dengan UU Antiterorisme, UU TNI, dan konstitusi.

"Jadi kami akan menyurati keberatan kami karena ancamannya ancaman keras. Tapi tata kelola demokrasi berdasarkan negara yang punya basic negara hukum ini tabrak. Ditabrak oleh perpres, bertabrakan dengan UU Terorisme, UU pokoknya bertentangan dengan UU TNI sebagai UU pokok yang bertentangan sesuatu yang diatur dengan sesuatu yang sudah diatur di konstitusi. Ini tabrakannya banyak sekali, dan ini mengancam perpres ini mengancam TNI kita menjadi tidak profesional," ujar Choirul.


Sementara itu, Kapuspen TNI Mayjen TNI Sisriadi menyatakan adanya perpres justru membuat upaya pemberantasan terorisme dilakukan semakin hati-hati.

"Justru kita makin hati-hati bekerja dengan ada perpres. Maka dalam latihan selalu diupayakan, saat kita latihan pakai simulator untuk lawan terorisme, jika kena sipil dalam latihan, itu dihukum," kata Sisriadi saat dihubungi, Kamis (8/8/2019) malam.

Dia mengatakan TNI melaksanakan tugas berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam setiap operasi yang bersifat tempur maupun non-tempur, TNI terikat pada Rules Of Engagement (ROE) yang berisi aturan (larangan dan kewajiban) hukum humaniter.

"Bahkan dalam operasi melindungi orang sipil dan benda-benda budaya dalam penggunaan kekuatan militer. Hukum humaniter memberi jaminan atas penghormatan TNI atas Hak Asasi Manusia dan sejarah umat manusia," kata dia.

Dia mengatakan dilibatkan Koopssus TNI membuat pemerintah lebih punya banyak opsi untuk menanggulangi ancaman terorisme. Dia mengatakan terorisme justru yang merampas HAM.

"Terorisme saat ini sudah menjadi musuh bersama, bukan hanya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia saja tetapi menjadi musuh bersama masyarakat global, karena aksi-aksi terorisme selalu menebar ketakutan dalam masyarakat. Merekalah yang sesungguhnya merampas hak asasi manusia," ungkapnya.


Sisriadi mengatakan dengan Perpres, TNI yang secara struktural memiliki kemampuan penanggulangan terorisme, dapat dikerahkan secara legal oleh pemerintah dengan batas-batas hukum positif yang berlaku dalam sistem penanggulangan terorisme. Dia kemudian mengajak Komnas HAM untuk ikut dalam penanggulangan terorisme.

"Tentu akan lebih baik manakala Komnas HAM sebagai bagian dari bangsa Indonesia dapat berkiprah lebih banyak dalam penanggulangan terorisme, seiring dengan perannya dalam menjamin dihormatinya hak asasi manusia," ucap dia.

"Tunjukkan mana yang jadi potensi pelanggaran HAM. Bagaimana langkah penanganan terorisme yang berdasarkan HAM. Kita tidak antipati pada HAM, kita malah hormati HAM. Zaman Pak Munir, kita sering diberi pelajaran soal HAM dari Pak Munir. Komnas HAM semestinya menunjukkan kepada kita bagaimana memasukkan HAM dalam klausul operasi. Bukan malah memikirkan hak asasi teroris," tambah Sisriadi.

Halaman 2 dari 2
(idh/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads