Melihat Lagi Perdebatan Karier Vs Nonkarier di KPK-Hakim

Melihat Lagi Perdebatan Karier Vs Nonkarier di KPK-Hakim

Andi Saputra - detikNews
Minggu, 04 Agu 2019 12:34 WIB
ilustrasi (dok.detikcom)
Jakarta - Perdebatan soal aparat penegak hukum di KPK, Jaksa Agung dan hakim apakah dari karier atau nonkarier selalu mengemuka tiap ada suksesi kepemimpinan di masing-masing lembaga tersebut. Lalu bagaimana komposisi seharusnya?

Di KPK, perdebatan pimpinan apakah dari karier (polisi atau jaksa) semakin meruncing jelang Pansel KPK menyaring nama-nama yang masuk. Apakah harus dari unsur polisi/jaksa, atau dari unsur masyarakat.

"Menurut UU KPK, pimpinan KPK terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Unsur pemerintah yang punya kompetensi sebagai penyidik dan penuntut sesuai KUHAP dan diakui secara universal adalah polisi dan jaksa," kata Prof Romli Atmasasmita saat dihubungi, (4/8/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi polisi dan jaksa aktif yang terpilih menjadi Pimpinan KPK, mereka harus berhentikan sementara dari insitusi lamanya.

"Menurut UU seperti itu," katanya.


Adapun dari unsur masyarakat yang dimaksud adalah akademisi atau anggota masyarakat lain. Soal keterwakilan unsur pemerintah dan masyarakat dalam Pimpinan KPK ini disebut dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan juga UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.

"Dengan syarat harus sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki pengetahuan terkait tindak pidana korupsi, papar Romli.

Dalam sejarahnya, jajaran komisioner KPK memang selalu diisi oleh keterwakilan polisi dan/atau jaksa. Ketua KPK pertama, Taufiequrachman Ruki dari unsur kepolisian. Wakilnya, Tumpak Hatorangan Panggabean merupakan jaksa.

KPK jilid kedua dipimpin Antasari Azhar yang berasal dari kejaksaan dan wakilnya Bibit Samad Rianto dari kepolisian. Dalam KPK jilid tiga, jaksa yang duduk di KPK adalah Zulkarnaen. Di jilid keempat, Basaria Panjaitan berasal dari Polri.

Di tingkat pengadilan, rekrutmen hakim agung juga menjadi polemik. Apakah dari hakim karier ataukah dari nonkarier. Setelah puasa bertahun-tahun, hakim nonkarier akhirnya bisa diduduki oleh dosen Universitas Narotama Surabaya Gazalba Saleh.

Gazalba dilantik pada 2017 menjadi hakim agung nonkarier. Sebelum itu, hakim agung nonkarier terakhir yang memakai toga emas adalah Prof Gayus Lumbuun pada 2011. Kala itu, Gayus Lumbuun membuka ke publik ada perbedaan fasilitas antara PNS MA dengan hakim agung yaitu PNS MA diberikan fasilitas lebih baik daripada hakim agungnya.

Perdebatan hakim karier-nonkarier sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hakim Binsar Gultom meminta MK memperberat syarat menjadi hakim agung dari kalangan masyarakat, seperti usia minimal 45 tahun menjadi 55 tahun layaknya syarat nonkarier.

Di dalam MA sendiri, hakim ad hoc yang khusus mengadili kasus korupsi juga merasa 'dianaktirikan'. Meski sama-sama memakai toga emas, namun mereka diberikan hak-hak yang berbeda dengan hakim agung.

"Kita dalam keprotokoleran tidak dipandang, tidak diperlakukan sama (dengan hakim agung lainnya) dalam hal acara resmi di MA maupun di daerah," ujar hakim ad hoc Prof Dr Abdul Latief.



Tonton juga video KPK Buka Kemungkinan Ada Aktor Lain di Kasus Suap Dirkeu AP II:

[Gambas:Video 20detik]

(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads