"Tentunya banyak studi untuk memprediksi, salah satunya dengan namanya perulangan (periode ulang)," kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Rahmat Triyono, kepada wartawan di kantor BMKG, Jl Angkasa, Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (3/8/2019).
Misalnya, gempa bumi dengan kekuatan magnitudo (M) 7 terjadi antara 30 dan 50 tahun sekali, gempa M 8 terjadi 50 dan 100 tahun sekali, dan gempa M 9 terjadi tiap 100-200 tahun sekali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gempa Palu, gempa Aceh, dan gempa-gempa besar yang sifatnya merusak diprediksi punya pola pengulangan. Namun pengulangan gempa besar bukan dalam waktu singkat. Sepanjang periode jeda, lempeng bumi mengumpulkan energi. Semakin panjang periodenya, semakin besar gempa yang dihasilkan.
Sayangnya, prediksi dengan pendekatan waktu pengulangan belum bisa dilakukan. Ada kendala dalam hal pendataan gempa untuk merumuskan pola waktu perulangan gempa.
"Ketersediaan data menjadi kendala. Kita harus menyimak ketersediaan data. Di BMKG, data secara baik baru tersedia tahun 1990-an, sebelumnya pengumpulan data masih manual," kata Rahmat.
Gempa Aceh, misalnya, sebelum gempa 2004 berkekuatan 9 SR terjadi, dikabarkan gempa yang merusak pada seabad sebelumnya pernah terjadi. Apakah bisa disimpulkan bahwa gempa besar Aceh berulang tiap 100 tahun? Belum bisa. Soalnya, perulangan yang teramati baru sekali, sedangkan perulangan 200-300 tahun ke belakang tidak tercatat dengan rinci.
"Masa hanya karena perulangan sekali kemudian kita tarik kesimpulan?" kata Rahmat.
Lalu, bagaimana dengan gempa M 6,9 di Banten yang terjadi pada Jumat (2/8) kemarin? Apakah gempa itu bisa diprediksi kapan bakal terjadi kembali?
"Ya itu tadi. Data kembali menjadi kendala. Kita harus menyimak ketersediaan data," kata Rahmat.
Tonton Video "BMKG: Megathrust Ancaman Riil RI":
(dnu/haf)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini