Sebagian besar daerah Indonesia sudah, tengah, dan akan menggelar pesta demokrasi di tingkatan desa secara serentak. Pilkades serentak yang merupakan amanat dari UU Desa No 6 tahun 2014 untuk menyelenggarakan pemilihan kepala desa serentak atau dilakukan secara bergelombang masih jarang diperbincangkan. Tidak seperti di level atas, pilkades tidak banyak diperbincangkan karena seolah tidak berpengaruh besar dalam ruang politik Indonesia. Padahal sebaliknya, justru di tingkatan paling bawah kita bisa memotret kondisi politik Indonesia dari desa.
Pilkades yang baru saja diselenggarakan di Banyumas, Mojokerto, Tulungagung, dan beberapa daerah lain menyisakan ruang pengujian sejauh mana kebijakan pilkades serentak diselenggarakan. Seperti pemilu serentak yang menyisakan kekurangan logistik, silang sengkarut wewenang penyelenggara pemilu, hingga kematian petugas pemilu. Pilkades serentak juga memiliki masalah yang jarang dilihat, apalagi diperbincangkan dan diuji.
Seperti yang terjadi di Tulungagung, 23 Polres telah memperbantukan personelnya untuk mengamankan penyelenggaraan pesta demokrasi warga desa di Tulungagung (detikcom, 8/7). Terutama soal botoh, di mana perannya yang signifikan dalam penentuan suara warga. Botoh yang sudah memasang calon tentu akan mendukungnya secara penuh dengan berbagai cara, dari mengagitasi sampai iming-iming uang dan barang. Botoh tentu tidak ingin rugi dengan taruhanya yang dipasang pada salah satu calon kalah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada skema lain yang lebih kecil, yaitu para "botoh kecil" yang hanya memasang taruhan kecil bernilai jutaan semasa perhitungan suara di dekat tempat perhitungan suara. Botoh kecil ini akan bertaruh dengan botoh kecil yang lain dengan modal kecil tanpa ada relasi dengan warga desa maupun cakades yang sedang bertarung. Biasanya orang dari luar desa yang ingin bertaruh yang diundang oleh para bandar pilkades yang sedang berlangsung, atau juga warga desa sendiri yang bertaruh dengan sesama warga yang mendukung calon yang berbeda. Taruhanya pun beragam, mulai dari kambing, sapi, hingga tanah dan rumah.
Botoh dan Pengaruhnya
Keduanya memiliki dampak yang berbeda; jika yang kedua memang tidak berdampak signifikan secara elektoral, pola yang pertama sangat berdampak pada elektoral. Botoh kecil yang selama ini menjadi penyakit kambuhan warga desa selama pilkades merupakan penyakit kultural yang sulit dihilangkan. Bayangkan ketika salah satu botoh kecil yang kalah bertaruh rumah dan tanahnya, berapa kerugian yang harus ditanggungnya, nasib keluarganya, kehidupan ekonominya? Selama ini tidak ada upaya yang signifikan untuk membendung perilaku destruktif semacam ini sehingga menjadi sebuah banalitas kejahatan.
Pola yang pertama dampaknya lebih merusak lagi, tidak hanya bagi yang kalah, tetapi pengaruhnya terhadap elektoral telah mengganggu proses demokrasi, di mana politik uang dimainkan untuk membeli suara agar memenangkan cakades yang dipasang. Tidak asing bukan dengan praktik semacam ini di desa? Cakades yang sudah dipinang oleh bandar besar kemungkinan besar kemenangannya sudah bisa dipastikan.
Ini seolah menjadi sebuah refleksi politik elektoral di tingkatan yang lebih atas, di mana para kartel bisnis berselingkuh dengan politisi untuk merebut kursi kekuasaan.
Krisis Kepemimpinan
Persoalan lain dalam gelaran pilkades serentak adalah minimnya kompetisi. Di tiap kabupaten hampir bisa dipastikan ada pasangan suami-istri yang menjadi cakades, seperti yang terjadi di Lamongan sebanyak 50 pasutri menjadi cakades dalam gelaran pilkades serentak (detikcom, 8/7). Lantaran tidak adanya rival, maka istri atau suami kades petahana menjadi calon bayangan. Bisa juga kerabat dekatnya yang kemungkinan terpilihnya rendah. Kalaupun meleset, kursi kepala desa tidak jauh dari lingkaranya.
Pilkades yang idealnya menjadi wadah mencari kepala desa terbaik untuk desanya menjadi formalitas pergantian "raja kecil" yang tidak jauh dari keluarganya. Banyak faktor yang bisa menjelaskan fenomena ini. Kades petahana memang terlalu kuat secara pengaruh sehingga tidak ada yang berani menantang. Bisa juga kekuatan modal yang tidak tertandingi oleh calon rivalnya. Atau, memang terjadi krisis kepemimpinan di desa dengan ditinggalnya pemimpin muda ke kota.
Pertanyaan yang patut diajukan selanjutnya, jika pilkades diselenggarakan serentak, bagaimana proses pengawasannya? Pengawas independen juga belum terlalu banyak menyoroti gelaran pilkades serentak. Hanya pada warga desalah kita berharap gelaran pilkades berlangsung sesuai asas demokrasi. Warga harus berpartisi aktif memilih sekaligus independen dalam menentukan pilihannya. Kesadaran bahwa suaranya sangat berharga bagi kemaslahatan desanya patut digaungkan. Suaranya tidak sepadan dengan uang berapapun yang diberikan oleh kontestan pilkades.
Sederet masalah dalam pilkades selama ini seakan tidak penting. Secara hukum mungkin bisa lolos, tetapi secara kultural yang berdampak merusak harus ditindak. Pemerintah daerah harus berani menangkap botoh-botoh yang bermain dalam pilkades, karena selain efek ekonominya yang merusak juga pengaruhnya pada elektoral dengan kecurangan yang dilakukan. Begitu juga krisis kepemimpinan yang selama ini terjadi di desa, kades yang sedang menjabat harus mampu mengkader calon penggantinya agar mampu menjadi pemimpin yang akan membawa kemajuan bagi desanya.
Miftahul Ulum mahasiswa Ilmu Sejarah Unair