"Ini nampak karena lama tidak hujan. Jadi air limbah batik nampak kelihatan berwarna," jelas salah seorang warga di Jalan Printis Kemerdekaan, Ilham (48), Selasa (30/7/2019).
Menurut Ilham kondisi ini disebabkan karena tidak adanya hujan yang turun, sehingga membuat limbah warna batik nampak pekat. Berbeda saat musim hujan, limbah pewarna akan bercampur dengan air hujan ditambah air sungai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya air yang berwarna saja, aliran sungai setempat juga akan berbau yang kurang sedap bahkan seringkali menyengat.
![]() |
Mendapatkan adanya laporan terkait air yang berubah warna menjadi merah, Kasi Pengendalian Pencemaran Lingkungan DLH Kota Pekalongan, Erwan Setiawan langsung mendatangi lokasi setempat. Selain melakukan pengecekan, petugas juga langsung mengambil sampel air untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium.
"Kita ke lokasi melakukan pengecekan. Hasilnya yang kemarin nampak di hulu merah kini yang merah di hilirnya," kata Erwan Setiawan saat ditemui detikcom.
Sedangkan untuk memastikan kandungan airnya apakah tercemar dan membahayakan atau tidak, pihaknya menunggu hasil pemeriksaan laboratorium.
"Kita ambil sampel dan uji laboratorium. Hasilnya sekitar sepekan," tambahnya.
Namun demikian, Erwan Setiawan, memastikan air warna di sungai setempat akibat limbah pewarna batik dari hulu sungainya.
"Warna merah air ini belum tentu mutu airnya buruk. Maka dari itu akan dibuktikan setelah uji laboratorium nanti," ujarnya.
Di Kota Pekalongan, jelasnya, terdapat empat Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) komunal serta 70-an IPAL kecil. Menurutnya dari semua yang ada hanya bisa mengelola sekitar 45 persen dari total keseluruhan air limbah yang keluar yakni 5 ribu meter kubik dalam seharinya.
"IPAL dari swasta akan dimaksimalkan. Untuk pembuatan IPAL sendiri juga membutuhkan biaya besar karena untuk 250 meter kubik bisa menghabiskan Rp 1,5 miliar," tandasnya.
Dia menjelaskan di wilayahnya ini banyak pemilik modal usaha batik yang mempekerjakan warga untuk memproduksi batik. Dengan demikian tidak mungkin masyarakat kecil yang menjadi buruh batik ini bisa membuat IPAL dengan dana pribadi,.
"Jadi pengelolaan seperti obat batik dan semacamnya dilakukan warga. Pengusaha batik hanya beli putus karena hanya membutuhkan tenaga tanpa mau membuat IPAL," terangnya. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini