Sidang dipimpin Hakim Ketua Sri Sulastri dengan anggota Fathurrauzi dan Abadi dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, Marollah. Dalam agenda pembacaan dakwaannya, terdakwa Kompol Tuti nampak didampingi tim penasihat hukumnya, Edy Kurniadi dan Marhaeni.
Penuntut umum dalam dakwaannya, menyatakan terdakwa Kompol Tuti telah melanggar sumpah dan janjinya sebagai aparat penegak hukum untuk tidak menerima pungutan dari pihak manapun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu bukti, jelas Marollah, didapatkan dari keterangan saksi Azhari, seorang tahanan narkoba yang mendekam di Rutan Polda NTB.
Dalam uraiannya, diungkapkan bahwa terdakwa Kompol Tuti meminta Azhari mengeluarkan biaya Rp 300 ribu untuk penggunaan telepon genggam selama berada di dalam Rutan Polda NTB.
"Dalam keterangannya, saksi Azhari mengatakan bahwa uang Rp 300 ribu diberikan kepada terdakwa, dan diminta untuk diam-diam dan jangan sampai kelihatan kamera CCTV ketika menggunakan HP (handphone)," ujarnya.
Setelah mendapatkan izin dari terdakwa Kompil Tuti, saksi Azhari dipindahkan ke kamar tahanan di lantai dua. Namun karena kurang betah dengan kondisi kamar tahanannya yang baru, saksi Azhari meminta dikembalikan ke kamar tahanan di lantai satu.
"Untuk pindah kamar tahanan ini, saksi Azhari kembali diminta terdakwa membayar Rp 500 ribu. Uang tersebut kemudian diberikan saksi Azhari di ruang kerja terdakwa di lantai dua," ucapnya.
Hal yang sama turut disampaikan dalam bukti keterangan saksi Firman Ramadani, seorang tahanan narkoba. Dia diminta membayar Rp 300 ribu karena tertangkap tangan menggunakan telepon genggam di dalam rutan.
"Dengan menawarkan uang Rp 100 ribu yang hanya dimiliki saksi Firman Ramadani, terdakwa pun menerimanya dan mengembalikan HP-nya dan diizinkan untuk menggunakan," katanya.
Kemudian ada lagi kesaksian seorang tahanan bernama Sarifudin alias Abu. Kepada terdakwa, Abu menyerahkan uang Rp 750 ribu untuk mendapatkan izin menggunakan matras di kamar tahanannya.
"Awalnya, matras milik saksi Sarifudin alias Abu diminta terdakwa untuk dibayarkan Rp 1 juta, kalau tidak dibayarkan, saksi diancam mendekam di sel tikus yang berada di lantai atas," ucapnya.
Namun setelah ditawar, saksi Sarifudin alias Abu diberi keringanan untuk membayar Rp 750 ribu dalam dua kali pembayaran, yakni pada kunjungan pertama Rp 500 ribu dan terakhir Rp 250 ribu.
Kemudian yang menarik lagi terkait adanya keterangan saksi Dorfin Felix, tahanan narkoba asal Prancis yang sempat kabur dari gedung Rutan Polda NTB.
Namun dalam kasus pelariannya yang kemudian membongkar ulah Kompol Tuti ini, penuntut umum hanya menguraikan soal keterangan uang yang diterima Dorfin dari luar negeri melalui perantara terdakwa Kompol Tuti.
Tidak ada keterangan yang menjelaskan soal keterlibatan terdakwa Kompol Tuti dalam modus pelarian Dorfin dari Rutan Polda NTB.
"Melalui terdakwa, saksi Dorfin menerima uang dari luar negeri dalam dua periode penerimaan," kata Marollah.
Penerimaan pertama, jelasnya, terdakwa Kompol Tuti mengambilkan Dorfin uang sebesar Rp 7,9 juta. Uang tersebut kemudian diminta digunakan untuk dibelikan HP Android seharga Rp 2 juta dan kartu perdana seharga Rp 100 ribu.
"Ada juga satu unit televisi yang ditaruh di kamar tahanan saksi Dorfin," ujarnya.
Begitu juga pemeriksaan keduanya, menggunakan jasa terdakwa, saksi Dorfin menerima uang sebesar Rp 7,6 juta.
Lebih lanjut, perkara milik terdakwa Kompol Tuti diajukan ke meja persidangan dengan jeratan tiga dakwaan, mulai dari dakwaan primer, subsider, dan lebih subsider.
Dalam dakwaan terdakwa Kompol Tuti dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 12 huruf b dan/atau Pasal 11 juncto Pasal 12A ayat 1 dan 2 UU RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 KUHP.
Adapun Dorfin kini telah dijatuhi hukuman mati karena membawa sabu lebih dari 2 kg dari luar negeri.
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini