"Seperti sudah diindikasikan oleh Menteri Hukum dan HAM, memang pilihan terbaik adalah amnesti. Argumen terletak pada penafsiran mengenai 'kepentingan politik' bukan sebagai kasus politik dalam arti pasal yang dikenakan namun kepentingan politik yang luas. Kepentingan politik di sini dapat ditafsirkan secara sosiologis sebagai konsistensi pemerintah dalam menunjukkan komitmennya dalam mengeliminasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan," kata ahli hukum tata negara Bivitri Susanti kepada wartawan, Selasa (9/7/2019).
Menurut Bivitri, pendekatan hukum progresif sesungguhnya tetap tidak boleh keluar dari koridor hukum yang ada. Tapi juga bukan berarti terkungkung, 'terpenjara' oleh pasal-pasal, melainkan memberikan penafsiran yang lebih progresif melihat aspek sosiologis dalam masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Pilihan Hukum yang Tepat
Ada tiga pilihan konstitusional yang tersedia, yang tidak lagi menggantungkan kekuasaan presiden pada kekuasaan yudikatif untuk mengambil keputusan, yaitu grasi, amnesti, dan abolisi.
Dalam pemberian abolisi, penuntutan tidak dilaksanakan. Jadi dalam konteks kasus Nuril, opsi ini sudah tidak relevan.
Adapun grasi tidak bisa dilakukan presiden karena grasi mengharuskan putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 tahun.
Pilihan bagi presiden sebagai kepala pemerintahan untuk memerintahkan penuntut umum mengajukan peninjauan kembali (PK) lagi tentu juga tersedia. Namun pilihan ini akan memberikan kembali 'bola' ke kekuasaan yudikatif, dengan segala konteks hukum acara dan pandangan kekuasaan kehakiman atas pokok perkaranya.
UUD 1945 sendiri tidak memberi batasan apa pun mengenai perkara mana yang bisa masuk konteks grasi, amnesti, abolisi, ataupun rehabilitasi. UUD 1945 hanya menyebut soal pertimbangan dari lembaga-lembaga lain.
2. Amnesti Bisa untuk Perorangan
Pandangan bahwa pemberian amnesti adalah untuk orang-orang dari satu kelompok lahir dari kasus-kasus besar pada masa lalu, seperti pemberontakan.
Meski demikian, sesungguhnya tidak ada pembatasan eksplisit dalam peraturan perundang-undangan mengenai kelompok atau individu. Karena itu pula, pada awal reformasi, misalnya, Budiman Sudjatmiko, yang divonis 13 tahun penjara atas tuduhan makar, kemudian diberi amnesti oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
3. Amnesti untuk Kepentingan Negara
Dalam hal penafsiran mengenai 'kepentingan negara', Bivitri menyatakan kasus atau sengketa 'politik' sesungguhnya bukanlah soal apakah terpidana merupakan narapidana politik dan bukan pula soal apakah pasalnya adalah pasal politik atau kejahatan politik. Melainkan soal dimensi politik dari pokok perkaranya.
"Politik yang dimaksud di sini adalah politik anti-diskriminasi terhadap perempuan," ujar Bivitri.
Ada dua alasan perkara ini sangat kuat berdimensi politik. Pertama, pemerintah sebenarnya sudah sejak 1984 (paling tidak secara legal formal ditunjukkan dengan meratifikasi CEDAW) telah berkomitmen menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
"Kedua, ditunjukkannya komitmen tersebut juga menjadi penting sementara pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih terhambat di DPR. Penting bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap penghapusan kekerasan seksual dalam kasus konkrit seperti ini sementara RUU PKS yang sangat didukung oleh pemerintah masih belum bisa disetujui," ujar Bivitri.
4. Amnesti atau PK Kedua?
Kembali mengajukan PK juga dinilai tidak tepat. Pertama, tidak populernya PK untuk kedua kalinya di Mahkamah Agung (MA). Hal itu didasari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 1 Tahun 2014 rentang Perubahan SEMA Nomor 14 Tahun 2010, yang pada pokoknya mengatur bahwa permohonan PK dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali.
"Kedua, besarnya ketidakpastian mengenai putusannya. Ada kemungkinan yang cukup besar bahwa Mahkamah Agung cenderung enggan mengoreksi putusannya sendiri," pungkas Bivitri.
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini