Pemerintah provinsi dan DPR Aceh sedang membahas qanun tentang hukum keluarga yang salah satu isinya mengatur soal praktik poligami. Qanun itu telah masuk Program Legislasi (Proleg) pada akhir 2018. Pembahasan masih terus dilakukan antara lain dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada 1 Agustus 2019.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Aceh, Musannif, mengatakan draf qanun tersebut disusun oleh Pemprov Aceh dan sudah diterima pihak legislatif. Pembahasannya sudah dilalukan sejak awal 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Qanun Poligami Aceh Tuai Pro Kontra |
Dukungan pun datang dari Front Pembela Islam (FPI) Aceh. FPI mendukung salah satu aturan di qanun itu yaitu soal poligami, lantaran ada aturan kewajiban suami tetap berlaku adil.
"Kami FPI Aceh mendukung sepenuhnya DPRA untuk segera lahirkan qanun legal poligami bagi orang kaya dan yang mampu. Bahkan, bagusnya bupati minimal tiga, DPR Kab/kota dua, DPR Aceh tiga, Camat dua, KUA dua dan Kades boleh dua. Termasuk yang penghasilan dan harta memadai boleh dua," kata Ketua FPI Aceh, Tgk Muslim At-Tahiry, Minggu (7/7/2019).
Selain itu, Muslim memandang qanun ini bisa menjadi solusi dari makin berkurangnya jumlah warga Aceh. Pasalya, menurutnya, populasi penduduk Aceh kian berkurang lantaran berbagai macam bencana. Dari mulai tsunami, konflik, dampak narkoba dan lain sebagainya.
"Maka jika qanun itu lahir. Insya Allah akan lahir anak Aceh tiap tahunnya tiga kali lipat. Tiap tahun bertambah minimal 500 ribu jiwa dan untuk 15 tahun ke depan Insya Allah ada minimal 20 juta jiwa," tambah Tgk Muslim.
Di sisi lain, rancangan qanun ini juga mendapat kritik dari aktivis perempuan di Aceh. Qanun ini tak boleh seolah-oleh membuat poligami sebagai gaya hidup.
"Jika hadirnya qanun ini hanya memaksakan perilaku secara keliru seolah poligami menjadi lifestyle (gaya hidup) bagi yang mampu namun tanpa melihat esensi dari poligami itu sendiri. Poligami bukan lifestyle," jelas dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh ini.
"Sejauh mana esensi aturan poligami berjalan dengan baik berbasis pada prinsip keterbukaan, kesejahteraan, dan keadilan. Jika mengatakan ingin ikut Rasulullah, jangan setengah-setengah, tapi secara menyeluruh. Kapan dan kenapa Rasulullah SAW berpoligami. Hal ini bukan karena Nabi 'mengikuti' hawa nafsunya," sambungnya.
Tentang Qanun dan Keistemewaannya
Menurut Nyak Fadhlullah dalam Jurnal In Right: Agama dan Hak Azazi Manusia, Qanun Aceh menerupakan produk hukum fiqh Islam yang dirumuskan menjadi hukum positif dan diterapkan di wilayah Provinsi Aceh. Sementara itu, jika merujuk UU Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006 pada Pasal 1, Qanun Aceh ialah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Dalam UU ini pulalah, Aceh memperoleh kekhususan/keistimewaan. Dalam qanun, terdapat ancaman pidana yang tidak terdapat di dalam KUHP sebagai induk dari Hukum Pidana materil. Perbedaan lainnya, pembatalan terhadap Qanun Aceh yang materi muatannya jinayat tidak dapat dibatalkan melalui Peraturan Presiden (Perpres), tetapi harus melalui mekanisme uji materil (judicial review) di Mahkamah Agung RI.
Bagaimana Kedudukan Qanun Aceh dalam Hukum Indonesia?
Sesuai dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan qanun dipersamakan dengan Perda di daerah lainnya. Sedangkan menurut Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa: jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: UUD RI Tahun 1945, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Pada penjelasan Pasal 7 disebutkan, yang termasuk dalam jenis peraturan daerah provinsi adalah Qanun yang berlaku di Aceh dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.
Proses Pembuatan Qanun
Masih menurut tulisan Nyak Fadhlullah, secara formal proses pembuatan qanun sama dengan proses legislasi Peraturan Daerah. Pembuatan/pengajuan rancangannya boleh berasal dari inisiatif Pemerintah Provinsi. Di kalangan Pemerintah Provinsi, pembuatan rancangan ini biasanya dilakukan oleh sebuah tim atau panitia, yang didalam prosesnya dimulai dengan rancangan awal untuk disosialisasikan
Sosialisasi ini dimaksudkan untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari masyarakat atau kalangan yang berminat. Proses sosialisasi ini bisa melalui kegiatan dengar pendapat, diskusi, lokakarya, seminar, polemik atau cara lainnya.
Nantinya, berdasarkan masukan-masukan tersebut, draft qanun diperbaiki. Usai dianggap sempurna barulah diajukan ke DPRA untuk dibahas. Dalam tahap ini akan ada legislatif dengan eksekutif. Termasuk tahap dengar pendapat antara legislatif dengan berbagai unsur dan lapisan masyarakat untuk menjaring aspirasi yang berkembang di tengah mereka.
Berhubung di Aceh memiliki lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), maka untuk qanun yang berkaitan dengan syariat Islam harus melalui tahap konsultasi dan pembahasan antara DPRA dengan MPU atau antara Pemerintah Provinsi dengan MPU. Pembahasan ini tidak harus formal sekali, karena didalam praktek tahap konsultasi ini bisa saja disekaliguskan dengan tahapan-tahapan lain yang diperlukan.
Motede Perumusan Qanun
Metode perumusan qanun juga tidak boleh sembarangan. Merujuk pada buku berjudul Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Jinayah di Aceh yang disusun oleh Syahrizal Abbas diterbitkan Dinas Syariat Islam Aceh, Ushul fiqh atau filsafat hukum Islam harus dijadikan metode perumusannya. Selain itu, setidaknya perumusan qanun juga harus mematuhi empat prinsip utama:
1. Ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan harus tetap bersumber dan berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, dan beberapa praktik sahabat Nabi. Dalam hal sumber hukum yang digunakan dalam qanun ini jelas disebutkan bahwa Al-Quran dan Hadis masih tetap menjadi pedoman utama dalam menentukan substansi qanun ini, baik dari segi jenis kejahatan yang dimasukkan ataupun dari segi pembuktiannya.
2. Penafsiran atau pemahaman atas Al-quran dan Hadis tersebut akan dihubungkan dengan keadaan dan kebutuhan lokal (adat) masyarakat Aceh pada khususnya atau dunia Melayu Indonesia pada umumnya, serta dengan tata aturan yang berlaku dalam kerangka NKRI.
3. Penafsiran dan pemahaman tersebut akan diupayakan agar selalu berorientasi ke masa depan, serta mampu menyahuti 'semangat' zaman modern seperti tercermin dalam isu perlindungan HAM dan kesetaraan gender, serta mempertimbangkan kemajuan ilmu dan teknologi terutama sekali ilmu hukum, yang perkembangannya relatif sangat cepat dan pesat.
4. Untuk melengkapi tiga prinsip diatas, prinsip dalam ushul fiqh mesti selalu dipegang: al-muhafazhah ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (tetap memakai ketentuan-ketentuan lama (mazhab) yang masih baik (relevan) serta berusaha mencari dan merumuskan ketentuan baru yang lebih baik dan lebih unggul).
(rdp/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini