Beban tugas yang besar ini memaksa para pengamat PGM melewatkan momen-momen penting bersama keluarga di rumah, termasuk momen Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Karena tak jarang mereka harus bekerja full di pos dengan konsentrasi penuh untuk mengamati aktivitas Merapi secara visual.
Seperti Heru Suparwaka (55), seorang pengamat di PGM Kaliurang, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bersama dua rekan kerjanya, Heru jarang pulang ke rumah demi menunaikan tugas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi kondisi Merapi yang normal beda dengan saat kondisi krisis (aktivitas meningkat), pengamatan secara visual karena alat berjalan 24 jam. Kita harus melihat visual kejadiannya untuk bisa segera memberi informasi ke pimpinan dan disebar ke masyarakat," lanjutnya.
Heru sejak awal sudah memberi pemahaman kepada keluarganya, tentang pekerjaan yang diembannya. Dia menekankan bahwa bekerja sebagai pengamat Merapi merupakan pekerjaan di bidang kemanusiaan. Karena dinamika aktivitas Merapi menyangkut terhadap aktivitas masyarakat luas. Bahkan hingga potensi ancaman keamanan dan keselamatan masyarakat.
"Kadang-kadang istri bertanya, kok saya belum pulang, tanya kondisi kesehatan. Kita punya anak juga, kadang-kadang anak, meski tak bicara langsung tapi ibu paham dan bicara kepada saya, ada hal yang menyentuh jiwa saat waktu waktu tertentu, misal Lebaran," ujarnya
![]() |
"Ada suatu hal yang kurang utuh tanpa kehadiran bapak, itu tidak hanya keluarga kecil saya tapi juga keluarga besar. Tapi pada prinsipnya keluarga paham dan sudah tahu dengan tugas saya sebagai pengamat Merapi," ucap pria warga Pakualaman, Kota Yogya ini.
"Beberapa momen keluarga sering terlewati, pas saya piket. Air matapun kadang-kadang tidak perlu kita keluarkan, tetapi, pasti secara manusiawi ada suatu hal yang hilang," imbuhnya.
Heru yang telah mengabdi sebagai pengamat Merapi sejak tahun 1990an ini bahkan tidak bisa istirahat dengan nyaman ketika jam kerja. "Misal tengah malam tidur, kita tidur-tidur ayam, ada sinyal di alat-alat kantor, berbunyi, kita amati hingga terdokumen tertulis," ujarnya.
Heru mengingat salah satu peristiwa yang membekas ketika dia bekerja di pos. Yakni ketika putrinya luka karena tersiram air panas.
Saat itu dia ditelepon istrinya memberitahu kabar tersebut. Niat hati ingin pulang, namun kewajiban kerjanya memaksa dia tak bisa mengantar dan mendampingi putrinya di rumah sakit.
"Saya menjaga konsentrasi di pos, tapi di hati kecil kerap berontak," ujarnya.
Untuk mengobati rasa kangen keluarga jika sewaktu-waktu muncul di benaknya, Heru mengaku sangat terbantu dengan perkembangan teknologi informasi. Karena Heru kerap menginap di kantor beberapa hari tergantung kondisi Merapi.
"Bisa video call, bisa lewat medsos. Karena meski saya nglaju, tapi karena pola kerja 24 jam kita tidak pulang harian, sering nginap di pos. Kalau kondisi krisis cukup lama, kita lama di sini, terutama saat status Siaga-Awas. Di rumah hanya tengok keluarga, apa keperluannya, paling tidak semalam, kadang-kadang tidak sampai semalam terus balik kantor lagi," kata dia.
Heru menyampaikan, kondisi aktivitas Merapi yang meningkat sejak tahun 2018 hingga saat ini, sangat berbeda dengan aktivitas Merapi tahun 2006 dan 2010. Masyarakat saat ini juga lebih menghargai terhadap informasi dan imbauan resmi dari PGM.
Dia pun berharap masyarakat tetap beraktivitas normal seperti biasa namun tetap waspada jika sewaktu-waktu terjadi peningkatan status Merapi.
Dia pun memastikan para pengamat PGM merupakan orang terakhir yang evakuasi jika Merapi berstatus Awas atau terjadi erupsi yang membahayakan masyarakat. Letak PGM Kaliurang dan permukiman penduduk sekitar 7 kilometer dari puncak Merapi. (mbr/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini