UGM tidak mencabut jabatan profesor Amien Rais. Terlebih tidak pula dicabut sebagai sanksi atas sikap-sikap dan pernyataan politiknya. Amien Rais sudah pensiun. Dia bukan lagi dosen di UGM. Ia pernah menjabat sebagai profesor, dulu. Tapi kini tidak lagi. Ia sudah pensiun. Artinya, sejak pensiun, dia bukan lagi profesor di UGM. Jadi bukan baru sekarang.
Kapan Amien Rais pensiun? Saya tidak tahu persis. Tapi menurut UU, seorang ASN tidak boleh berpolitik praktis, yaitu menjadi anggota partai, menjadi calon atau anggota legislatif, dan sebagainya. Profesor itu ASN. Kalau dia berpolitik, dia harus mundur dari status ASN. Amien Rais jelas seorang politikus. Ia pernah jadi ketua partai, dan jadi Ketua MPR. Maka dia harus mundur dari jabatan profesor. Itu logika umum saja. Detailnya, pihak UGM yang tahu persis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi orang yang salah kaprah biasanya ngeyel. Khusus untuk profesor, orang yang sudah bukan lagi profesor, tetap dipanggil profesor. Jadinya lucu, seseorang yang menduduki jabatan politik seperti menteri, atau Ketua MPR, tetap dipanggil profesor. Lha, jabatan dia yang mana? Profesor atau menteri? Bahkan orang tetap dipanggil profesor setelah ia mati. Padahal orang mati tidak bisa jadi profesor.
Dalam kasus Amien Rais ini malah media tampak seperti berusaha menggiring kesan bahwa Amien Rais itu dicabut gelarnya karena tindakannya yang tidak patut. Padahal pernyataan dari UGM tidak demikian.
Perlu ditegaskan lagi bahwa profesor itu bukan gelar akademik. Gelar akademik adalah sarjana, master (magister), dan doktor. Gelar-gelar itu melekat pada pemiliknya, tidak terkait dengan jabatan yang ia sandang. Jadi, Amien Rais misalnya, boleh dipanggil sebagai Dr. Amien Rais, sampai kapan pun, selama gelar itu belum dicabut oleh pemberinya. Bahkan sampai setelah ia mati pun ia boleh dipanggil dengan gelar itu.
Adapun jabatan fungsional akademik adalah asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Perhatikan bahwa seseorang bisa naik jabatan, misalnya dari lektor ke lektor kepala. Artinya ia bisa menanggalkan jabatan lama, karena berganti jabatan. Profesor pun sebenarnya bisa menanggalkan jabatan itu, antara lain karena menduduki jabatan lain yang tidak boleh dirangkap. Atau, ia diberhentikan dari jabatan itu, misalnya, karena kinerjanya tidak baik.
Hal lain yang tidak kalah penting sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa profesor itu bukan gelar adalah, orang yang menduduki jabatan itu punya kewajiban. Apa saja kewajibannya? Mengajar, meneliti, membuat karya ilmiah, membimbing mahasiswa (terutama mahasiswa doktoral), dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Konsekuensi ini bahkan sering tidak disadari oleh para profesor itu sendiri. Mereka mengira jabatan profesor itu adalah sebuah kehormatan terhadap kehebatan mereka, terhadap prestasi masa lalu. Artinya, sejak jadi profesor mereka tidak lagi perlu berbuat apa-apa, termasuk tidak mau lagi mengajar.
Itu salah kaprah. Menjadi profesor itu justru sebuah permulaan. Dengan menjadi profesor seorang dosen boleh dibilang sedang memulai sesuatu. Ia jadi punya kewenangan penuh untuk membimbing mahasiswa doktoral. Ia dituntut untuk mengepalai sebuah tim riset, membina para dosen yang lebih muda dan mahasiswa, mengarahkan riset, untuk menghasilkan hal-hal baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Ibarat pengendara mobil, ia baru mendapatkan SIM. Akan lucu bila seseorang berhenti mengemudi setelah punya SIM.
Sering orang lupa pada konsekuensi itu, selain tidak paham bahwa profesor itu bukan gelar tadi. Akibatnya, ada orang-orang yang memaksakan diri untuk jadi profesor dengan berbagai cara, demi mengejar kementerengan. Ia merasa kalau jadi profesor ia akan mentereng. Setelah mendapat jabatan itu, ia tidak melakukan aktivitas akademik. Padahal profesor tanpa aktivitas akademik yang nyata adalah profesor konyol.
Dengan logika bahwa profesor itu jabatan dengan sejumlah konsekuensi tugas, seharusnya seseorang yang menduduki jabatan lain di kampus, yang membuat dia tak lagi bisa mengajar dan melakukan riset, seharusnya jabatan profesor tidak duduki. Seorang rektor, misalnya, tidak perlu ngotot jadi profesor, kalau ia tidak bisa melakukan tugas profesor. Ini masih tidak lumrah di Indonesia. Di Jepang saya pernah menyaksikan seorang profesor mengundurkan diri sementara dari jabatan profesor karena ia menjadi rektor.
Salah kaprah soal jabatan profesor ini terus terjadi karena wartawan masih terus salah kaprah, dan menyebarkan salah kaprah itu. Lebih parah lagi, para profesor pun banyak yang salah kaprah dengan jabatan mereka. Salah kaprah wartawan hanya berakibat pada kesalahan penyebutan. Salah kaprah profesor berakibat pada kesalahan pada pelaksanaan tugas.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini