Seperti dilansir CNN, Rabu (22/5/2019), wanita Prancis bernama Nadege Dubois-Seex ini mengajukan gugatan hukum terhadap Boeing di Chicago, Amerika Serikat (AS), yang menjadi markasnya. Suami Nadege, Jonathan Seex, merupakan salah satu korban tewas dalam tragedi yang menewaskan total 157 orang itu.
"Ini sebuah tragedi yang seharusnya bisa dihindari, karena itu telah terjadi sebelumnya, lima bulan sebelumnya. Bagaimana mereka bisa tuli pada peringatan ini?" ucap Nadege kepada wartawan di Paris, Prancis pada Selasa (21/5) waktu setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Sabtu (18/5) lalu, Boeing mengakui pihaknya harus memperbaiki cacat pada software simulator penerbangan yang digunakan untuk melatih pilot dalam menerbangkan Boeing 737 MAX, usai dua tragedi mematikan yang menewaskan total 346 orang. Boeing tidak menyebut lebih lanjut soal kapan dan bagaimana cacat itu ditemukan.
Terungkapnya cacat pada software simulator ini muncul saat Boeing menjadi sorotan terkait masalah pada Boeing 737 MAX. Software MCAS, sistem anti-stall yang memaksa hidung pesawat turun saat mengudara demi mencegah pesawat stall, diyakini memainkan peranan dalam tragedi Ethiopian Airlines dan Lion Air.
"Nyawa suami saya terenggut secara sengaja, dan bahkan dengan sukarela. Boeing bertindak dengan sinisme. Suami saya menjadi korban dari sebuah sistem, sebuah strategi bisnis," cetus Nadege dalam pernyataannya.
Juru bicara Boeing, Peter Pedraza, menolak untuk mengomentari gugatan hukum ini. Namun dia menekankan bahwa pihak Boeing 'bekerja sama secara penuh' dengan dalam penyelidikan kecelakaan Ethiopian Airlines.
Jonathan, suami Nadege, memiliki kewarganegaraan ganda Swedia dan Kenya. Jonathan dan Nadega memiliki tiga anak yang berusia 7-10 tahun.
Pengacara keluarga Nadege, Nomaan Husain, menyatakan bahwa bukti-bukti jelas menunjukkan Boeing bertindak sembrono dan secara sadar meremehkan keselamatan para penumpang.
"Boeing menyadari adanya masalah dengan angle-of-attack pesawat, dengan software MCAS, dan kami baru-baru ini mengetahui bahwa mereka mengetahui adanya persoalan dengan software pelatihan," sebut Husain dalam konferensi pers.
"Kami meminta kepada para juri pengadilan, setelah mempertimbangkan seluruh bukti, setelah mempertimbangkan tindakan sembrono dan disengaja oleh Boeing yang dengan sadar mengabaikan keselamatan para penumpang, untuk memberikan bentuk hukuman minimum pada Boeing sebesar US$ 276 juta," imbuhnya.
Lebih lanjut, Husain menjelaskan alasan pengajuan nilai gugatan tersebut. "Tahun 2018, Boeing mendapat keuntungan kotor US$ 101 miliar. Saat Anda mengambil angka itu dan membaginya dengan 365, Anda mendapat angka US$ 276 juta," jelasnya.
"Apakah jumlah keuntungan kotor dalam sehari oleh Boeing sudah cukup untuk menangkal perilaku di masa depan? Atau apakah jumlah keuntungan setara satu pekan, atau satu bulan, atau satu tahun? Itu akan menjadi hak juri pengadilan untuk menentukan," tandasnya.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini