"Ada penggelembungan suara atau kecurangan," ujar Ketua Daerah Pemilihan Luar Negeri (DPLN) Demokrat Lukmanul Hakim saat berbincang dengan detikcom, Jumat (17/5/201).
Menurut Lukmanul, Panwaslu mengeluarkan edaran bahwa surat suara via pos yang akan dihitung adalah yang diterima PPLN hingga 15 Mei 2019. Ini sesuai aturan KPU bahwa surat suara untuk PSU di Malaysia via pos diterima pada 13-15 Mei 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PPLN Kuala Lumpur menyatakan sampai tanggal 15 Mei surat suara 22.087. Itu yang disampaikan ke partai-partai dan Panwaslu dan akan dihitung dari tanggal 14-16 Mei. Panwaslu mengirim edaran hanya suara suara pada tanggal 15 yang dihitung," kata Lukmanul.
Kemudian tiba-tiba, pada 16 Mei 2019, ada kiriman surat suara sebanyak 62 ribu dari kantor pos Malaysia. Surat suara itu juga tidak dikirim ke kantor PPLN Kuala Lumpur, tapi langsung ke lokasi penghitungan suara yang ada di Gedung PWTC.
![]() |
"Itu jadi keributan dan buat protes. Ada Masinton, Cristina, ada PKS juga, PPP, dan lainnya. Termasuk Panwaslu juga nolak kenapa 62 ribu ini datang," sebutnya.
PPLN pun beralasan surat-surat tersebut sampai di kantor pos Malaysia pada 15 Mei dan belum diantarkan ke pihak PPLN lantaran masalah teknis transportasi dari pihak kantor pos Malaysia.
"PPLN alasannya surat tersebut diterima tanggal 15 sesuai rigid kuitansi. Tapi tidak diinformasikan ke kita. Kedua alasannya pos Malaysia tidak memiliki transportasi yang cukup untuk mengirim surat itu tanggal 15. Itu masalah teknis, alasan klasik," sebut Lukmanul.
"Yang jadi persoalan panjang adalah kita stuck dengan aturan Panwaslu yang mengatakan tanggal 15 sudah harus di PPLN KL. Kenapa surat itu dikirim di tempat perhitungan gedung PWTC , bukan di kantor PPLN. Itu melanggar aturan yang kedua," lanjutnya.
Kemudian saksi-saksi partai mempersoalkan mengenai kantong yang membawa 62 surat suara susulan itu. Sebagian besar, surat suara tidak dimasukkan melalui karung khusus sesuai aturan KPU, melainkan dari plastik.
"Itu tercampur, yang memang ada yang pakai karung khusus tapi sebagian besar tidak pakai karung itu, pakai kantong plastik biasa. Ini sudah 3 kejanggalan. Mereka katakan kekurangan logistik tapi kan surat suara itu ada 200 ribuan itu, seharusnya kan sudah disiapkan," jelas Lukmanul.
Panwaslu dan mayoritas saksi partai disebut menolak 62 surat suara tambahan via pos itu dihitung. Namun PPLN tetap menghitungnya dengan alasan surat suara sudah masuk pada tanggal 15 Mei. Tapi penghitungan 22.807 suara dan surat suara susulan 62 ribu dibedakan.
"Partai-partai sebagian besar menolak, Panwaslu menolak. Tapi PPLN keukeh terus menghitung. Akhirnya dihitung tapi TPS-nya dibedakan," sebutnya.
![]() |
Lukmanul mengatakan kecurigaan mayoritas partai akhirnya terbukti. Sebab, mayoritas suara jatuh kepada Davin Kirana, yang merupakan caleg DPR RI dari NasDem dengan nomor urut 2.
"Terbukti ketika perhitungan suara itu, mayoritas mungkin 80% itu semua ke NasDem dan Davin. Itu kalau tidak ke NasDem, suaranya ke Davin. Ada juga yang dibagi 2 antara ke Davin atau Tengku Adnan. Dipecah dua, kelihatan banget rekayasanya," urai Lukmanul.
"Dari surat suara yang 22 ribu dan 62 ribu itu ke NasDem tapi dibagi-bagi. Bisa 400-450 per TPS dibagi 2, hampir mayoritas. Suara untuk partai lain ada, Demokrat ada tapi kecil, misal 20, 10, bahkan ada yang 0," imbuhnya.
Lukmanul juga menyoroti suara yang masuk untuk pasangan capres-cawapres. Ada cukup banyak surat suara pilpres yang disebutnya tidak dicoblos. Ada juga TPS-TPS yang suara untuk pilpres sangat tidak seimbang. Misalnya di suatu TPS, Prabowo-Sandiaga bisa menang total dari Jokowi-Ma'ruf Amin, demikian pula sebaliknya.
"Uniknya untuk capres beberapa TPS tidak dicoblos, jadi pilpres dibiarin. Mungkin untuk menghemat waktu. Ada surat suara di TPS 200 nggak sah jadi nggak hitung. Itu di-setting, ada TPS Prabowo menang, nanti Jokowi nggak ada. Nanti Jokowi suara banyak, Prabowo kosong," urai dia.
![]() |
Lukmanul mengklaim rekayasa memenangkan Davin Kirana sangat terlihat sehingga membuat saksi dari partai politik tertawa satire. Bahkan mahasiswa yang melihat jalannya penghitungan suara sampai menjadikanya bahan hiburan.
"Ini kasar sekali. Terjadi pengkondisian. Menjijikkan. Betul-betul dipaksakan agar dia menang. Itu mahasiswa-mahasiswa ganti dari 5.2 (nomor urut Davin) jadi dia lagi, dia lagi. Masinton sampai ngomong udah deh buat pemilu sendiri, coblos sendiri, hitung sendiri," kata Lukmanul.
Dia menuding penggelembungan dilakukan untuk meloloskan Davin. Suara dari luar negeri masuk di Dapil DKI Jakarta II. Suara Davin disebut masih kurang untuk bisa masuk ke DPR. Lukmanul menduga lewat PSU di Malaysia itulah rekayasa dilakukan untuk memenangkan Davin.
"PSU ini satu-satunya cara untuk memenangkan, karena suaranya nggak cukup. Kalau kita ikut aturan Panwaslu, hanya 22 ribu (surat suara yang dihitung) maka suara tidak akan cukup. Sekarang kalau hitungan kasarnya (Davin) Gedung KBRI," ujar dia.
"Dari 62 surat suara susulan itu, 17 ribu nggak dihitung karena waktunya sudah habis sesuai MK kan maksimal pukul 00.00. Kalau yang suara 22 ribu dihitung semua. Saya estimasi 80% suara hasilnya ini ke Davin Kirana," tutup Lukmanul. (elz/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini