Wiranto Jawab Kontroversi Penerapan Pasal Makar

Round-Up

Wiranto Jawab Kontroversi Penerapan Pasal Makar

Tim detikcom - detikNews
Kamis, 16 Mei 2019 20:44 WIB
Menko Polhukam Wiranto (Rengga Sancaya/detikcom)
Jakarta - Penerapan pasal makar menuai kontroversi. Pasal makar ini kerap dianggap sebagai alat untuk menjerat sejumlah tokoh. Namun Menko Polhukam Wiranto angkat bicara soal kontroversi yang berkembang itu.

Wiranto menjelaskan pasal makar semestinya memang digunakan untuk menindak perencana tindakan makar. Sebab, menurutnya, jika makar sudah terjadi, pasal makar tak bisa digunakan karena negara sudah telanjur bubar.

"Makar itu kalau perencanaan, persiapan untuk perencanaan, sudah dilaksanakan, baru bisa ditangkap. Kalau sudah terjadi, negara bubar, yang nangkep sopo? Yang ngadili siapa? Yang nuntut siapa?" kata Wiranto dalam sambutan di acara rapat koordinasi Tim Terpadu Penanganan Konflik, yang diadakan Kemendagri di Hotel Paragon, Kamis (16/5/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Wiranto menegaskan MK dalam putusannya menerangkan, untuk pidana makar, konstruksi hukumnya tidak perlu sempurna. Setiap upaya perencanaan bisa dikategorikan makar.

"Jadi, kalau sudah merencanakan, menghasut, kemudian mempersiapkan dalam pelaksanaannya, sudah bisa dikategorikan tindakan makar," imbuh Wiranto.

Wiranto pun sadar bahwa penindakan dengan pasal makar akan mendapat banyak sorotan. Karena itu, dia membentuk Tim Asistensi Hukum Nasional guna membantu pengkajian terhadap ujaran yang mengandung unsur makar.

"Pakar hukum itu kan, jadi cuma memberikan saran. Kok, ribut," kata Wiranto.




Menanggapi penerapan pasal makar ini, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga angkat bicara. YLBHI meminta pemerintah tak sembarang menggunakan pasal makar dalam suatu kasus. YLBHI menilai sesuatu bisa dikatakan makar apabila ada upaya percobaan serangan.

"Makar itu sebetulnya di dalam kitab undang-undang aslinya itu anslaag dan itu artinya serangan. Jadi dikatakan makar apabila ada serangan atau percobaan serangan. Kalau tidak ada upaya melakukan serangan, ya tidak makar namanya," kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati di gedung YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2019).

Selain itu, Asfinawati menilai penggunaan pasal makar bertentangan dengan demokrasi dan substansi hukum yang berlaku di Indonesia. Menurut dia, setiap orang harus ditindak sesuai dengan pelanggaran hukum yang dilakukan.

"Harusnya kalau ada pelanggaran hukum, ya pakai pelanggaran hukum yang ada. Kalau tidak ada, ya dibebaskan, tapi jangan sampai menggunakan pasal makar sembarangan," imbuhnya.


Sementara itu, pengajar STHI Jentera, Anugerah Rizki Akbari, menjelaskan terkait istilah makar yang kerap disalahartikan. Miskonsepsi makar ini dinilai menjadi penyebab penegakan hukum menjadi serampangan.

"Ketidakjelasan istilah makar, pengertian makar, inilah yang menyebabkan sekarang penegakan hukum ini serampangan," kata Anugerah Rizki Akbari di gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2019).

Lebih lanjut, Anugerah menjelaskan asal-usul istilah makar yang pertama kali diperkenalkan oleh para penjajah sebagai anslaag. Anslaag merupakan istilah dalam bahasa Belanda yang berarti 'serangan'.

"Jadi makar itu adalah serangan. Nah, lalu ada satu lagi kesalahan ketika banyak yang mengartikan makar ini sebagai tindak pidana, tapi makar ini unsur tindak pidana, makar itu harus diartikan sama dengan unsur yang lain," ujar dia.

"Misal dengan Pasal 104, makar ini harus menyerang dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden untuk memerintah. Di Pasal 106, dia harus ada serangan, maksudnya dari seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain," sambung dia.


Dalam pemahaman Anugerah, makar baru bisa diterapkan bila konteksnya seseorang itu sudah melakukan serangan. Apabila orang itu baru berniat dan belum melakukan serangan, kata dia, pasal makar tidak bisa dijatuhkan kepadanya.

"Jadi harus jelas makar itu bahasa Belandanya adalah anslaag. Jadi harus ada serangan terlebih dahulu, tujuannya apa, ya misal membunuh presiden dan wakil presiden, bisa menggulingkan pemerintahan dan bisa memisahkan diri dari NKRI dan lain-lain. Tapi kapan bisa dihukum, ya perbuatan itu tidak harus selesai. Jadi Pasal 87 KUHP menyatakan dia bisa dihukum kalau ada niat untuk melakukan itu dan perbuatannya sudah masuk dalam permulaan pelaksanaan," kata Jentera.
Halaman 2 dari 2
(rdp/jbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads