"Ya menyambut baik ya meskipun itu sebenarnya terlambat ya," ujar anggota BPN Mustofa Nahrawardaya ketika dihubungi, Selasa (14/5/2019).
Mustofa menilai Menkes kurang peka terhadap adanya kejanggalan dalam proses pemilu. Malahan menurutnya usulan untuk melakukan autopsi itu lebih dulu datang dari masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, pihaknya tetap mendukung upaya yang dilakukan Menkes untuk mencari tahu penyebab meninggalnya ratusan KPPS. Mustofa menyarankan agar Menkes berfokus pada autopsi verbal dibandingkan dengan medis yang dianggapnya sudah biasa.
"Lo iya, terutama yang nomor dua yang autopsi verbal, kalau medis kan biasa itu, nggak perlu diumumkan. Itu kan ada dua, audit medis itu biasa aja, misalkan nama, alamat, penyakit sebelumnya apa, itu kan sudah biasa, tetapi kan karena ini jumlahnya banyak dan ada pola waktu ada yang gantung diri, ada yang muntah-muntah itu akan hal yang tidak wajar ya, itulah yang perlu dilakukan autopsi verbal," tuturnya.
Sebelumnya, Menkes Nila F Moeloek memerintahkan dinas kesehatan setempat untuk melakukan autopsi terhadap KPPS yang meninggal. Menkes menyebut ada dua jenis autopsi yang akan dilakukan.
Nila menerangkan audit medik berisi catatan lengkap rumah sakit tentang riwayat penyakit yang diderita pasien tersebut. Sementara autopsi verbal dilakukan untuk petugas KPPS yang meninggal di rumah.
"Itu audit medik, ada catatannya, semua laporannya ada, rumah sakit harus melaporkan kalau ada yang meninggal sebabnya apa. Kemudian meninggal di rumah nggak ada catatannya, ini DKI itu melakukan rutin autopsi verbal itu, karena ada aturan Kemendagri dengan Kemenkes, Kemendagri harus mengetahui kalau penduduknya meninggal kenapa aja," ujarnya di Desa Budaya Kertalangu, Denpasar, Bali, Senin (13/5).
Banyak KPPS Meninggal, Apa Kata IDI? Simak Videonya:
(eva/nvl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini