"Tidak akan mungkin terjadi (revolusi). Sebagai wacana, sebagai tekanan publik mungkin iya. Tapi terjadi betul-betul itu perlu logistik dan logistiknya saya kira tidak akan ada sekarang," kata Gaffar kepada detikcom di Fisipol UGM, Kamis (9/5/2019).
Gaffar menuturkan, di belakang paslon 01 dan 02 berkumpul para oligarki dengan kekuatan bisnis besar. Umumnya para oligarki tersebut menghendaki terciptanya stabilitas politik nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Revolusi tidak akan terjadi hanya dengan seruan. Revolusi kan perlu dana, perlu duit, itu para oligarki tidak akan menurunkan duitnya karena risikonya akan mengacak-acak bisnis mereka," ucapnya.
Disinggung mengenai maraknya provokasi di media sosial, Gaffar menganggapnya sebatas 'testing the water' atau gertakan saja. Ia tak yakin revolusi akan terjadi pascaPemilu 2019.
Selain karena keenggan para oligarki, Gaffar juga menilai kondisi sekarang tak mendesak untuk dilakukan revolusi. Sebab, semua prosedur Pemilu telah dijalankan oleh pelaksana Pemilu.
"Suara rakyat itu diukur lewat Pemilu. Bahwa hasilnya mengecewakan satu kelompok dan menyenangkan kelompok yang lain itu lumrah dalam proses elektoral," paparnya.
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan di Pemilu, lanjut Gaffar, tersedia prosedur hukum yang bisa ditempuh. Misalnya mengadukan dugaan kecurangan tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
"Revolusi kan kita lakukan kalau tidak tersedia jalan apapun untuk menyelesaikan persoalan. Kan ini ada (solusi). Jadi misalnya MK, orang bisa menggugat lewat MK," ungkapnya.
Gaffar sendiri tak yakin masyarakat bersedia melakukan revolusi.
"Saya kira masyarakat tidak akan mau (revolusi), kecil kemungkinannya ya. Karena tidak ada kondisi yang disepakati bahwa ini memang bermasalah," tutupnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini