Hahaha. Hahaha. Entah berapa juta orang yang tertawa terpingkal mendengar cerita-cerita itu. "Wow! Prabowo titisan Sulaiman! Titisan Sulaiman telah datang! Hahaha!"
Syukurlah, saya tidak ikut tertawa. Saya mencium sejarah amat panjang dari suara-suara tawa itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
***
Dalam bukunya Sapiens, bahkan kemudian disambung dan ditegaskan lagi di Homo Deus, Yuval Harari pun bercerita tentang hewan-hewan. Nun ribuan tahun silam, pada Era Berburu dan Mengumpul, manusia hidup bersama alam, termasuk bersama hewan-hewan. Kita berbagi ruang hidup bersama, berbagi sumber daya bersama, berkomunikasi satu sama lain bersama-sama. Manusia mengambil apa pun dari alam seperlunya, makan-minum secukupnya.
Kaum pemburu dan pengumpul ibarat musafir. Mereka senantiasa berpindah-pindah, konsep menetap belum dikenal. Ketika sumber daya di suatu wilayah tidak cukup lagi menarik hati, pergilah kaum pemburu itu. Agar mudah bergerak, mereka tidak membawa beban banyak. Dalam kumpulan manusia yang terus bergerak, koleksi properti jadi tak berguna, penumpukan logistik yang terlalu berlebih pun sia-sia. Di alam pikiran demikian, istilah hak milik pribadi tidak dikenal sama sekali.
Semuanya berubah drastis sejak domestikasi. Baik domestikasi tanaman, maupun domestikasi hewan. Datanglah apa yang disebut dengan Revolusi Pertanian. Kehidupan menetap dimulai. Rumah-rumah tinggal dibangun. Properti dikumpulkan, hak milik ditegaskan, hama-hama pengganggu kehidupan yang menetap itu dijauhkan.
Manusia membuat batas-batas area. Petak-petak tanah menjadi hak milik. Apa yang sebelumnya dibagi sebagai ruang bersama, kini diprivatisasi sebagai milik satu spesies saja. Seiring pengusiran hama-hama, interaksi dengan hewan-hewan lain pun lenyap perlahan-lahan. Dengan ketiadaan interaksi, jelas, lenyap pula kemampuan berkomunikasi.
Sudah 10.000 tahun berlalu sejak dimulainya Revolusi Pertanian. Sudah sepuluh milenium sejak kita meninggalkan kemampuan berkomunikasi dengan hewan-hewan. Kita sekarang tak lagi mengingat sedikit pun kemampuan itu, dan tidak berkepentingan sedikit pun dengan itu. Antroposentrisme, alias paham bahwa manusia merupakan pusat semesta, mencapai puncak kejayaannya. Di deretan tangga hierarki peradaban, hewan-hewan selain Homo sapiens pun berposisi sebagai subordinat belaka.
Dalam kitab-kitab suci milik agama-agama, kemampuan berkomunikasi dengan hewan masih dimunculkan meski cuma sedikit saja. Namun, secara umum, antroposentrisme berkoalisi dengan agama-agama, lalu menetapkan keyakinan bahwa hewan-hewan (juga apa pun yang ada di muka bumi) diciptakan Tuhan semata-mata untuk mengabdi kepada kepentingan manusia.
Hasilnya, kita kemudian memang masih berinteraksi dengan hewan-hewan, namun dalam porsi sangat minim dan berpola interaksi pengabdian. Ayam-ayam dikembangbiakkan demi penumpukan laba, sapi-sapi digemukkan demi industri, babi-babi diternakkan demi kejayaan korporasi. Kita memang "berinteraksi", tapi sama sekali tidak berkomunikasi.
***
Maka, hari ini, berjuta orang beramai-ramai menertawakan Pak Prabowo. Kelakuan berbicara dengan hewan bukan lagi cuma menjadi kemampuan yang terlupakan secara komunal selama 10.000 tahun masa. Ia bahkan hanya dianggap sebagai dongeng, atau lelucon tak berkelas. Berbicara dengan hewan diposisikan tak lebih dari imajinasi orang yang kelebihan dosis halusinasi.
Itu bagi orang yang tidak percaya bahwa Pak Prabowo bisa berbicara dengan hewan. Bagi yang percaya, tetap saja posisi kemampuan itu bukanlah kemampuan normal apa adanya. Ia dilihat sebagai kemampuan supranatural. Kesaktian. Setara debus, santet, atau Ajian Jaran Goyang.
Sementara, satu hal ditempatkan dalam kategori supranatural karena ia memang jauh melampaui apa-apa yang natural. Yang natural itu ya manusia berkomunikasi dengan sesama manusia, begitu rumus bakunya. Jika ada manusia bisa berkomunikasi dengan yang non-manusia, itu dianggap tidak natural. Ia dianggap melampaui yang natural-natural, atau bahkan sama sekali berada di luar koridor hal-hal natural. Ia supranatural.
Hal-hal yang dianggap supranatural ini bukan cuma urusan komunikasi dengan hewan. Bahkan komunikasi dengan apa saja. Dengan pepohonan, misalnya. Atau dengan gumpalan awan-awan.
Karenanya, saya pribadi sebagai produk zaman ini terkekeh-kekeh membaca novel Celestine Prophecy-nya James Redfield. Penggambaran tentang para petapa yang berbisik-bisik di hadapan sayur-mayur agar tetumbuhan itu berkembang lebih cepat, lebih bahagia, dan lebih segar tak lebih dari tutorial ilmu sihir di benak saya. Sama nasibnya dengan Hamzah, waktu itu masih mahasiswa Filsafat UGM, yang dijadikan bahan gurauan karena menjalankan profesi sebagai pawang hujan. Saat ditanya bagaimana dia memindahkan awan-awan itu, Hamzah menjawab, "Ya diajak ngomong saja, dirembuk baik-baik."
Semua itu benar-benar jadi lelucon untuk zaman ini. Semuanya supranatural belaka. Karena masuk ranah supranatural, ia bukan natural. Karena bukan wilayah natural, ia tidak dibicarakan oleh sains. Bukankah sains memang hanya berurusan dengan alam, dengan hal-hal yang dianggap natural?
Dan, karena tidak diakomodasi sains, semua itu serta-merta dipandang sebagai tidak ilmiah. Karena tidak ilmiah, habislah mereka, sebab yang muncul kemudian langsung berupa cap kuno, bodoh, primitif, dan terbelakang. Ya, jelas primitif, sebab jauh dari nalar efektivitas masyarakat modern.
Bukankah konyol sekali jika pada zaman ini kita masih menjalankan hal-hal yang tidak efektif dan efisien? Untuk apa harus mengajak bicara hewan-hewan, jika mereka cukup digiring, dimasukkan ke kandang-kandang, untuk kemudian dipotong dan diperdagangkan? Kenapa harus bicara baik-baik dengan awan-awan, jika mobil dan gedung-gedung besar sudah sangat memadai sebagai solusi melawan guyuran air hujan? Buat apa harus berembuk dengan pepohonan di rimba belantara berikut makhluk-makhluk gaib penunggunya, jika tindakan yang paling menguntungkan secara cepat adalah membawa chainsaw raksasa, membabati batang-batang pohon itu dengan paksa, lalu meleburnya jadi bubur pulp untuk membuat buku-buku, dan di buku-buku itu nantinya kita bisa membaca banyak teori tentang pelestarian alam?
***
Persis dengan nasib banyak bahasa di dunia yang telah mati, bahasa yang menghubungkan manusia dengan alam pun mati, bahkan jauh lebih dulu mati. Saya sendiri tidak yakin-yakin amat dengan paparan Mas Yuval Harari. Toh, dia juga cuma berspekulasi. Meski demikian, melihat pawang singa dan macan masih eksis dan digaji rutin di Bonbin Gembiraloka, melihat banyak orang begitu lekat secara emosional dengan anjing-anjing piaraan mereka, mau tak mau saya membuka diri kepada kemungkinan-kemungkinan itu.
Ya, misalnya kemungkinan bahwa Pak Prabowo memang bisa berbicara dengan semut-semut. Kenapa tidak? Saya toh juga berencana akan berbicara baik-baik, dari hati ke hati, dengan kelinci-kelinci piaraan anak saya. Saya akan bilang kepada mereka bahwa menggigiti kabel internet dan tali sepatu hingga putus mungkin memang asyik dan menyenangkan, tapi buat bangsa manusia lumayan menyebalkan.
Yang pasti, ada satu pola yang akan terus berulang dalam mata rantai sejarah. Pada suatu masa, kita punya suatu kemampuan tertentu. Seiring proses perjalanan waktu, kita akan membuang kemampuan itu, ribuan tahun kemudian menertawakannya, sembari menyangkal bahwa ia pernah ada.
Dua ribu tahun dari sekarang, mungkin kita akan menganggap aktivitas bertemu tatap muka secara fisik dengan para sahabat sebagai sesuatu yang primitif, bahkan supranatural. "Wah, Bambang kemarin ketemu sama Eko! Betul-betul ketemu fisik! Sakti sekali dia!"
Bahkan tiga ribu tahun dari sekarang, bukan tidak mungkin kita akan melihat coblosan presiden sebagai satu mekanisme yang berada jauh di luar nalar manusia waras. Sangat tidak logis, sangat tidak ilmiah, dan dunia akademis pun tidak sudi membicarakannya. Situasinya akan persis sebagaimana hari ini kita bicara tentang genderuwo, atau tentang kemampuan mengobrol dengan margasatwa.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini