"Insiden yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara karena adanya klaim tumpang-tindih antara Indonesia dan Vietnam atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)," kata Hikmahanto dalam keterangan persnya, Selasa (30/4/2019).
Tumpang-tindih yang dimaksud bukanlah soal laut teritorial di bawah kedaulatan negara, melainkan batas ZEE. ZEE merupakan laut lepas, negara yang bersangkutan punya hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut. Indonesia dan Vietnam belum punya perjanjian batas ZEE ini.
"Hingga saat ini antar kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE. Akibatnya, nelayan Vietnam bisa menangkap di wilayah tumpang-tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya," kata Hikmahanto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam hukum internasional, terlepas dari siapa yang benar atau yang salah, pihak yang memuntahkan peluru terlebih dahulu akan dianggap melakukan tindakan agresi," kata Hikmahanto.
Untuk menyelesaikan insiden berlatar belakang problem batas ZEE ini, Hikmahanto menyarankan agar Indonesia menghindari membawa persoalan ke Lembaga Peradilan Internasional. Soalnya, proses di Lembaga Peradilan Internasional bakal rumit dan memakan biaya melebihi biaya yang diderita oleh KRI Tjiptadi-831.
Maka cara protes Kementerian Luar Negeri RI dengan cara memanggil Duta Besar Vietnam sudah benar. Protes dalam hal ini bukan karena Vietnam melanggar ZEE Indonesia, melainkan karena Vietnam menggunakan cara tertentu terhadap KRI Tjiptadi-381.
"Protes dilakukan atas cara kapal coast guard Vietnam yang hendak menghentikan KRI Tjiptadi 381 dengan cara penabrakan," kata Hikmahanto. Dia memandang sesama negara ASEAN perlu mengedepankan cara musyawarah untuk mufakat.
Simak Juga 'Vietnam Klaim Kapal TNI AL Lewati Perairannya, Menhan: Lihat GPS!':
(dnu/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini