"Ya, kalau menyalahi ketentuan UU, harus dikenai sanksi," kata anggota TKN Jokowi-Ma'ruf, Achmad Baidowi (Awiek), kepada wartawan, Senin (22/4/2019).
Ada sejumlah alasan mengapa akhirnya akreditasi Jurdil2019 dicabut dan diblokir. Salah satunya Jurdil2019 dianggap tidak menjalankan tugas sesuai dengan prinsip pemantauan. Bawaslu menyebut Jurdil2019 melanggar aturan dengan membuat dan mempublikasikan quick count, yang berdasarkan aturan seharusnya terdaftar di KPU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, pihak Jurdil2019 mengklaim pihaknya bukan menampilkan quick count melainkan 'Real Count Pilpres 2019'. Adapun data yang ditampilkan situs itu mengunggulkan Prabowo-Sandiaga 60,3%. Sementara itu, Jokowi-Ma'ruf tertinggal dengan perolehan 37,9%.
Awiek mengatakan pemantau pemilu tidak memiliki kapasitas menampilkan data quick count (QC) atau real count (RC). Menurut dia, hal ini telah diatur dalam UU Pemilu 7/2017.
"Apalagi terdaftar sebagai pemantau yang tugasnya hanya melakukan pemantauan, bukan QC dan RC. Tugas pemantau adalah memantau jalannya pelaksanaan pemilu dan bukan menjadi lembaga survei, apalagi menjadi timses terselubung," ujar anggota Komisi II DPR ini.
"Dalam menyusun UU 7/2017, persoalan ini sudah kami atur sedemikian ketat," tegas Awiek.
Terkait pencabutan izin dan pemblokiran itu, pihak Jurdil2019 melayangkan protes ke Bawaslu dan Kominfo. Mereka mempertanyakan alasan kedua lembaga mengeluarkan keputusan tersebut.
"Kita menanyakan ada apa, karena tidak ada pemberitahuan. Jika disebutkan ada konten yang negatif, di mana? Kita tahu biasanya yang disebut konten negatif itu pornografi atau judi, itu tidak ada di situs kita," kata Rulianti, pihak yang mengajukan izin Jurdil2019 jadi lembaga pemantau pemilu, Minggu (21/4).
Simak Juga Video: Melongok ke dalam 'Ruang Perang' Kominfo untuk Lawan Hoax dan Fitnah (tsa/elz)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini