Empat tahun lamanya, Ilah dan keluarga harus tidur berhimpitan di dalam bangunan reyot seluas 2,5x 2,5 meter itu. Penghasilan Jahidin sebagai kepala keluarga jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Penghasilan sang suami yang bekerja sebagai pemecah batu di Cipatat hanya berkisar Rp 300 ribu per minggu. Itu untuk menghidupi istri dan ketujuh anaknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebetulan anak yang pertama dan kedua sedang tidak bekerja sekarang. Mereka hanya sekolah sampai kelas 5 SD," ujar Ilah saat berbincang dengan detikcom di kediamannya, Kamis (28/3/2019).
Sejauh ini, kata Ilah, keluarganya belum terjangkau program apapun yang dicanangkan pemerintah pusat maupun daerah. Mulai dari Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT), Kartu Indonesia Pintar (KIP), BPJS, maupun program rutilahu.
"Kemarin sempat ada yang datang dari desa dan Karang Taruna Bandung Barat, mereka datang membawa bantuan seperti kasur dan beras," katanya.
Ilah berharap bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. "Inginnya punya rumah sendiri, tapi sekarang saya bersyukur saja. Saya ingin anak-anak saya yang kecil bisa sekolah yang tinggi," katanya.
Selama 23 tahun menjalin perkawinan dengan Jahidin, Ilah dikarunia tujuh anak. Mereka adalah Randi (20), Herman (17), Narya (14), Hendar (13), Aas (6) dan si kembar Raka (3) dan Raina (3).
Anda (65), ayah mertua dari Ilah mengatakan sebenarnya ia telah mengajak keluarga Jahidin untuk tinggal bersamanya. Apalagi gubuk Ilah berada di belakang rumah Anda.
"Sudah saya ajak (tinggal bersama) tapi mereka tidak mau, katanya mau pisah. Cuma kadang-kadang. Dua anak mereka yang sudah besar tidur di rumah saya," ujarnya. (tro/tro)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini