Wiranto menilai pihak yang mengajak golput sebagai pengacau. Mereka disebut sebagai pihak yang mengancam hak kewajiban orang lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Wiranto, UU yang mungkin bisa menjerat pengajak golput adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan KUHP. Dalam pemahaman Wiranto, para pengacau tersebut harus diberi sanksi.
"Kalau UU Terorisme tidak bisa, ya, UU lain masih bisa. Ada UU ITE bisa, UU KUHP bisa. Indonesia kan negara hukum, sesuatu yang membuat tidak tertib, sesuatu yang membuat kacau, pasti ada sanksi," tuturnya.
Sementara itu, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menilai gagasan Wiranto itu bisa dilakukan apabila orang yang mengajak golput menggunakan sarana media elektronik. Namun, sambung Dedi, penyidik akan melihat fakta hukum yang ditemukan di lapangan.
"Ya kalau mengajaknya dengan menggunakan sarana media elektronik tentunya Undang-Undang ITE bisa atau dapat digunakan untuk menjerat seseorang sesuai dengan perbuatan dan fakta hukum yang betul-betul peristiwa itu terjadi," kata Dedi.
Dedi mengatakan hukuman untuk orang yang mengajak golput juga sudah diatur dalam Undang-Undang Pemilu.
"Di dalam Undang-Undang Pemilu juga sudah diatur ada pasal 510 kalau nggak salah. Barang siapa yang menghalang-halangi atau menghasut seseorang untuk tidak melakukan atau memenuhi hak pilihnya dapat dipidana dan ada dendanya juga," tuturnya.
Aturan di Undang-Undang Pemilu terkait golput dan ancaman pidana berbunyi:
Pasal 510
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Menurut Dedi, penyidik nantinya akan menelaah terlebih dahulu terkait unsur pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang mengajak golput. Setelah itu, sambung Dedi, penyidik akan membangun konstruksi hukum apakah kasus itu masuk kategori pelanggaran pemilu atau pelanggaran pidana.
"Jadi tergantung pertama perbuatannya, kedua sarana yg digunakan, itu bisa dijerat di situ. Makanya dari penyidik nantinya akan melihat dulu perbuatannya, fakta hukumnya sesuai dengan alat bukti yg ditemukan oleh penyidik. Dari situ baru disusun konstruksi hukumnya. Masuk ke mana nih? Masuk ke dalam KUHP-kah, masuk dalam tindak pidana pemilu-kah, masuk ke dalam Undang-Undang ITE-kah. Itu sangat tergantung pada peristiwa tersebut," tuturnya.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini