Selang beberapa jam kemudian, pihak berwajib berhasil menangkap pemuda asal Australia bernama Brenton Tarrant, seorang mantan pelatih kebugaran berideologi fasis sebagai pelaku sadis dalam tragedi kelam itu. Mendengar kabar itu, saya lemas tak berdaya usai melaksanakan Salat Jumat di area kampus Australian National University (ANU). Sesampainya di University House, tempat tinggal saya di area kampus, saya berusaha mencari kabar detail tentang peristiwa itu.
Lalu, saya mendapatkan manifesto yang ditulis oleh Tarrant sebagai pernyataan terbuka untuk publik berjudul The Great Replacement: Toward A New Society setebal 74 halaman. Manifesto tersebut berisi pandangan anti imigran,antimuslim migran dan penjelasan mengapa serangan itu dilakukan.
Terorisme Balas Dendam
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data terbaru 2018, Global Peace Index (GPI) juga memposisikan New Zealand sebagai negara paling aman kedua di dunia setelah Islandia. Namun, terorisme balas dendam yang dimiliki pelaku penembakan tak mempedulikan hal itu. Pelaku menegaskan dalam manifestonya sebagai berikut: an attack in New Zealand would bring to attention the truth of the assault on our civilization, that nowhere in the world was safe.
Ia dengan sengaja ingin menyatakan bahwa tidak ada tempat aman di dunia, lebih-lebih tempat bagi imigran yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dalam konteks ini sangat jelas pelaku telah memiliki perencanaan dan target yang cukup matang (kurang lebih dua tahun). Pelaku mempertunjukkan "panggung" untuk menarik perhatian publik. Hal itu tampak disengaja dengan menyiarkan langsung aksinya. Ia ingin menunjukkan teater bebas bagaimana mudahnya menghabisi nyawa sebagai bagian dari dendam. Aksi ini dilakukan dalam bentuk yang sangat sadis, dramatis, dan bombastis guna menyebabkan situasi traumatis.
Islamofobia dan Kecemasan Budaya
Kita sudah tentu mengutuk aksi kejam tersebut. Namun pertanyaannya, apa motif dasar yang paling kuat dibalik tragedi itu? Janina Nordious dalam Racism and Radicalism in Jamaican Gothic (2006) telah menggambarkan penindasan rasial yang lahir dari kecemasan budaya (cultural anxieties) dalam nalar rasisme berbalut radikalisme.
Radikalisme dan rasisme tampaknya masih menjadi sumbu bagi erupsi tindakan perlawanan yang dalam bahasa arab disebut syiddah al-tanatu' yang berarti rigid, keras, eksklusif, serta memonopoli kebenaran. Radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, tetapi terus berupaya mengganti suatu tatanan dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung niat keji untuk memberangus kelompok lain, setali tiga uang dengan rasisme.
Pendek kata, radikalisme lahir dalam tragedi di New Zealand sebagai pengejawantahan dari rasisme kecemasan budaya untuk memberangus para imigran yang dianggap sebagai penjajah (invaders). Supremasi kulit putih digunakan sebagai pembenar akan kekuatan untuk menindas yang lain. Supremasi dijalankan dalam kerangka superioritas yang akhirnya diwujudkan dalam bentuk rasisme.
Khaled A. Beydoun (2018) dalam tulisannya Between Anti-Black Racism and Islamophobia menegaskan bahwa rasisme muncul karena kecemasan kulit putih yang merasa dipecundangi secara ekonomi dan politik serta budaya. Inilah sebabnya ekstremis kanan muncul dengan aksi terorisme sebagai perlawanan atas kekhawatiran karena minimnya pertumbuhan kelahiran orang Barat dan meningkatnya imigran Muslim di tanah Barat, sebagaimana ditulis oleh Tarrant pada manifesto The Great Replacement halaman 5 bagian penjelasan why did you carry out the attack?
Dalam manifesto tersebut, Tarrant menegaskan bahwa tindakannya memang bagian dari bentuk rasisme. Ia menulis: fertility rates are innately tied to race, so yes. There was a racial component to the attack. Rasisme tersebut lahir dengan tujuan mengusir imigran yang dinilai berpotensi menjadi ancaman terhadap eksistensi peradaban Barat, yang akhirnya menenggelamkan jati diri bangsa mereka.
Secara lebih spesifik dalam konteks penembakan di masjid New Zealand, kecemasan itu dapat kita baca dengan gejala Islamofobia. Para sarjana mendefinisikan Islamofobia dengan beragam pengertian. Secara sederhana, Islamofobia yang berkembang di Eropa dan Australia adalah sikap yang sarat ketakutan terhadap Islam yang dianggap musuh dan diposisikan sebagai blok monolitik berbahaya dari bentuk subjek alami permusuhan bagi orang Barat (Zuquete: 2008, Gottschalk & Greenberg: 2008).
Lagi-lagi, wacana ini berkembang dari rasisme yang tumbuh akibat kebencian terhadap komunitas lain yang dianggap dapat menghancurkan budaya Barat dengan budaya asing yang dibawa oleh para imigran, termasuk oleh para komunitas Muslim. Keberadaan komunitas muslim dianggap sebagai musuh besar yang menjadi oposisi kehidupan kulit putih sehingga penyebutan muslims are the new blacks bisa jadi masih terjadi.
Rasisme dan Radikalisme
Apa yang terjadi dalam tragedi kemanusiaan di New Zealand menjadi jawaban tentang itu. Penembakan terhadap Muslim di masjid saat menjelang Salat Jumat menjadi fakta bahwa kekerasan terhadap agama muncul dari rasisme fasis yang menganggap masjid bagian dari budaya asing sekaligus menjadi rumah bagi komunitas Muslim.
Bentuk rasisme dan radikalisme memang berkelindan erat. Keduanya menjadi gerakan teror yang menakutkan dan dijalankan dengan strategi publisitas untuk memunculkan ketakutan, kesedihan, lumpuhnya kepercayaan internasional, dan situasi yang serba tak menentu.
Persoalan global ini menjadi tantangan kita ke depan. Tapi, setidaknya mulai dari detik ini perwujudan nyata dari solidaritas sosial dengan bergandengan tangan meningkatkan pencegahan dan perlawanan setiap aksi kekerasan yang berbasis kebencian terhadap identitas lain (others) sangat diperlukan. Karena itu, penting mulai saat ini menciptakan karakter umat yang moderat dan toleran sehingga dapat menciptakan kehidupan damai tanpa kekerasan. Di sinilah sesungguhnya pentingnya mengusung suara moderasi beragama di panggung nasional dan internasional.
Wildani Hefni mahasiswa Ph.D Program PIES di Department of Political and Social Change Australian National University (ANU), dosen IAIN Jember