Pada 2004 muncul keputusan mencengangkan di Ukraina, bahwa Mahkamah Agung (MA) membatalkan hasil pemilihan presiden yang telah berlangsung. Keputusan serupa muncul di Turki pada 2007 yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Turki. Pada tahun yang sama pula, Partai Thai Rak Thai (partainya Thaksin Shinawatra) dibubarkan oleh MK Thailand. Setahun sebelumnya, di Kosta Rika terjadi penghitungan ulang hasil pilpres karena keputusan Mahkamah Pemilu di negara itu.
Masih pada tahun yang sama, terjadi penghitungan ulang separuh dari total suara pilpres di Meksiko karena tuntutan yang diajukan oleh para calon presiden yang merasa dicurangi kepada Mahkaman Pemilu Meksiko. Berikutnya, pada 2009 penghitungan ulang secara total atas hasil pemilu parlemen harus dilakukan di Moldova karena keputusan MK Moldova. Deretan peristiwa mencengangkan seputar pemilu itu menjadi rujukan dalam diskursus keadilan pemilu yang sudah banyak disuarakan di berbagai negara.
Di Indonesia, di tengah pro-kontra integritas penyelenggaraan pemilu tahun ini, wacana keadilan elektoral menjadi menarik untuk dicermati. Apa itu keadilan pemilu? Keadilan pemilu bukanlah sekadar mencari rumusan-rumusan matematis (matematika-politik) untuk menentukan luas daerah pemilihan (dapil), jumlah kursi di parlemen dalam satu dapil hingga ambang batas (threshold) untuk mencalonkan diri bagi partai politik maupun presiden atau kepala daerah. Apalagi berbagai rilis survei berikut perdebatan metodologisnya. Ia bukan pula sekadar memastikan jalannya seluruh tahapan pemilu/pilpres sebagaimana prosedur yang ditentukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keadilan elektoral melibatkan sarana dan mekanisme: (a) untuk memastikan bahwa setiap tindakan, prosedur dan keputusan yang terkait dengan proses pemilihan sejalan dengan hukum (konstitusi, undang-undang, instrumen internasional dan perjanjian, dan semua ketentuan lainnya); (b) untuk melindungi atau memulihkan pemenuhan hak pemilu (electoral right) bagi warga negara, memberikan mekanisme untuk mengajukan keluhan dan mendapatkan sidang keputusan pengadilan bagi pihak-pihak yang merasa bahwa hak pilih mereka telah dilanggar (Henriquez, 2010:1).
Cakupan yang luas dari keadilan pemilu itu menyangkut setidaknya tujuh indikator, yaitu: (a) kesetaraan suara (equality of voice) yang meliputi kesetaraan: keterwakilan, penjumlahan setiap suara (every vote count), dan aspirasi pemilih (voters voice) dalam hal keterwakilan (representedness), penghargaan (respectedness), dengar pendapat (heard) dan hak untuk mendapat keputusan dari peradilan pemilu; (b) ketaatan hukum (lawfulness), yang meliputi kepastian, pelaksanaan dan penegakan hukum secara konsisten; (c) partisipasi seluruh stakeholders; (d) kompetisi yang fair di antara kontestan termasuk persoalan penanganan praktik politik uang (money politics); (e) integritas pemilu, meliputi proses dan hasil pemilu; (f) independensi dan profesionalitas manajemen pemilu. Dalam hal ini meliputi KPU, Panwas maupun Bawaslu, DKPP hingga MK; dan (g) keputusan yang tepat dan tidak memihak dalam penanganan sengketa pemilu.
Sekilas Dinamika Pemilu
Tentunya tidak cukup membahas secara mendalam ketujuh indikator itu di sini. Namun demikian, terdapat sedikit fakta yang bisa kita cermati dalam perjalanan pemilu di Indonesia. Dalam dokumen Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI (MKRI) 2011 grafik jumlah registrasi Perkara Hasil Pemilihan Umum (PHPU) baik legislatif dan presiden/wakil presiden menunjukkan tren yang meningkat. Di level daerah, grafik jumlah total registrasi putusan PHPU Kepala Daerah berdasarkan amar MKRI dari tahun 2008 hingga 2012 menunjukkan angka yang relatif masih tinggi, walaupun angkanya naik turun. Secara berturut-turut Laporan Tahunan MKRI 2008-2012 menunjukkan angka 2008 (27 perkara), 2009 (12), 2010 (230), 2011 (138) dan 2012 (95).
Artinya, upaya untuk mencapai keadilan elektoral dari data-data itu menunjukkan kesan yang masih belum begitu meyakinkan. Grafik-grafik itu seolah hendak mengatakan bahwa tingkat kecurangan dari peserta (bahkan mungkin melibatkan pula penyelenggara) pemilu masih potensial tinggi. Sebaliknya, kepercayaan para peserta (bahkan mungkin pemilih) untuk menerima hasil pemilu potensial rendah.
Namun di sisi lain, sejumlah capaian lain patut diapresiasi kaitannya dengan upaya mencapai keadilan elektoral. Dalam hal kesetaraan suara, dua keputusan monumental (landmark decisions) MKRI untuk mengembalikan hak pilih (dan hak untuk dipilih) bekas anggota organisasi terlarang PKI dan organisasi massanya dalam pemilu legislatif yang diputuskan pada 2003 dan putusan MK pada 2009 tentang penggunaan KTP dan/atau paspor bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Untuk 2019 celah persoalan terletak, salah satunya, pada pemilih pindahan yang dibatasi satu bulan sebelum pemilihan harus mengurus prosedur pindah memilih. Bagaimana apabila pemilih mengurusnya setelah melewati deadline yang ditetapkan? Apakah pilihannya menjadi hangus? Perihal ini masih ramai diperdebatkan.
Secara menyeluruh, keadilan elektoral membutuhkan upaya tidak hanya institusi-institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, melainkan pula peserta pemilu, baik itu partai politik, calon legislatif, calon presiden/wakilnya, panitia penyelenggara maupun pengawas (KPU, Panwaslu, Bawaslu), maupun masyarakat sebagai pemilih. Alhasil, semoga Pemilu 2019 berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil) sebagaimana amanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Fahrul Muzaqqi dosen di Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Surabaya, Koordinator Bidang Kajian Isu Strategis di Lakpesdam NU Jawa Timur
(mmu/mmu)