Analisis Pakar Semiotika: Ma'ruf Berupaya Tenang, Sandi Selipkan 'Kenakalan'

Analisis Pakar Semiotika: Ma'ruf Berupaya Tenang, Sandi Selipkan 'Kenakalan'

Marlinda Oktavia Erwanti - detikNews
Senin, 18 Mar 2019 16:55 WIB
Foto: Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno (Grandyos Zafna/detikcom)
Jakarta - Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno menampilkan gestur tubuh, perkataan tertentu hingga cara berpakaian saat debat antar cawapres semalam. Hal itu mulai dari sikap duduk Ma'ruf yang dinilai resmi hingga Sandiaga yang memanggil cawapres 01 itu dengan sebutan abah dan Pak Yai.

Pakar Semiotika ITB Acep Iwan Saidi mengungkapkan, secara umum, debat semalam datar dan bertempo lambat, terutama pada sesi pertanyaan dari panelis. Satu pertanyaan yang sama untuk para kandidat seakan memberi ruang pada penjawab kedua untuk memikirkan jawaban yang akan disampaikan.

"Situasi itu cukup memberi fasilitas kepada cawapres 01 untuk mengatur stamina mengingat usia yang sudah tua. Pada sesi tanya jawab antarkandidat, nyaris tidak ada 'kontra-argumen' dan 'kontra-gestut'. Kandidat 02 lebih menempatkan atau menghormati kandidat 01 sebagai orang tua dan kiai," ujar Acep dalam keterangannya, Senin (18/3/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Ma'ruf Berupaya Tenang

Secara khusus, Acep menganalisa ada pesan-pesan semiosis yang disampaikan kedua cawapres melalui perkataan hingga tindakan yang dilakukan. Misalnya cara Ma'ruf memegang mic.

"Penyampaian visi-misi dengan cara berdiri di hadapan 'mic berdiri'. Tangan kiri memegang gagang mic. Ketika mengeluarkan kartu peraga, tangan kanan berganti memegang gagang mic, sedangkan tangan kiri mengacungkan kartu, paparan kurang komprehensif, tidak semua poin yang 'dituntut' tema dapat terpenuhi (cenderung lebih banyak mengupas soal pendidikan). Hal itu menunjukkan indeks dari adanya teks yang dihapal, dan berusaha tenang untuk itu," tuturnya.

"Begitupun pada sesi berikutnya berbicara dengan mike lepas, bergerak dan berdiri tidak jauh dari kursi. Hal itu menunjukkan indeks dari sikap untuk membuka ruang gerak agar bisa santai. Dan refleks dari usia yang tidak lagi muda (gerakan yang terbatas)," imbuh Acep.

Kemudian sikap duduk Ma'ruf saat debat. Sikap duduk Ma'ruf yang tampak resmi saat lawan debatnya, yakni Sandiaga berbicara, dan mimik muka yang ditunjukkan Ma'ruf memperlihatkan sikap yang kurang familiar pada lingkungan.

"Ketika lawan debat berbicara, kandidat duduk resmi (tidak santai), mimik 'tak komunikatif' (tanpa senyum, tanpa gerak mata, dan cenderung tidak memperhatikan lawan). Hal itu menunjukkan indeks dari sikap yang lebih memusat pada diri sendiri, kurang familiar pada lingkungan, refleks dari salah satu sikap orang tua," ujar dia.

Cara Ma'ruf menyampaikan pernyataan dan tutur katanya juga tak luput dari analisis Acep. Ma'ruf menurutnya mencoba 'mengejar' jawaban lawas atas pertanyaannya yang bersifat definitif, seperti istilah sedekah putih. Hal ini, menunjukkan cara berpikir cawapres 01 itu text book dan mengabaikan uraian serta fokus menjatuhkan lawan.

"Beliau juga banyak menggunakan istilah berbahasa Arab dan beberapa dalil agama. Hal itu menunjukkan indeks dari kemampuan menguasai bahasa Arab dan refleks dari sikap seorang kiai
Selain itu, pernyataan penutup yang disampaikan Ma'ruf Amin berupa penegasan pada program yang telah dilakukan petahana yang akan terus disempurnakan, dan menyelipkan narasi berbasis pada konflik (tentang hoaks), dan sikap diri terhadap konflik tersebut," tutur Acep.

"Hal itu menunjukkan indeks dari sikap memposisikan diri sebagai wakil presiden petahana; meyakinkan bahwa usia bukan persoalan, yang penting adalah tekad perjuangan untuk bangsa. Di sisi lain terepresentasikan karakter yang cenderung mendefinisikan/menyikapi persoalan hanya dari perspektif diri. Bahwa hoaks hanya dilakukan oleh pihak lain, sedangkan pihaknya tidak demikian. Secara politis, hal ini merupakan indeks dari mekanisme 'menggoreng' isu," sambung dia.


Sandiaga Selipkan 'Kenakalan Politis'

Sementara Sandiaga, yang membuka paparan dengan menyapa Ma'ruf dengan kata 'abah', 'Pak Yai', dan 'Pak Kiai' sekaligus mengucapkan selamat ulang tahun menunjukkan indeks sikap menghormati orang tua. Namun, di situ, Sandiaga juga menyelipkan 'kenakalan politis' yang mengidentifikasi dan menegaskan kepada publik bahwa lawan debat jauh lebih tua dari dirinya, lawan debat adalah 'abah'-nya.

"Sandiaga yang selalu tampak memperhatikan lawan debat dengan wajah tersenyum tipis juga menunjukkan sikap menghormati dan mengapresiasi pihak lain," katanya.

Berbeda dengan Ma'ruf yang berusaha tenang, cara Sandiaga menyampaikan visi-misi dengan mic lepas mencerminkan ketenangan. Meski terkesan ada teks yang dijadikan hapalan, namun hal itu seolah tertutupi dengan penguasaan yang cukup baik.

Kemudian, sikap duduk Sandiaga juga lebih mencerminkan posisi yang rileks, dimana sesekali ia membuka gadget dan berjalan agak ke tengah panggung saat berbicara. Sandiaga juga tampak selalu mengambil jeda untuk membetulkan jas sebelum bicara.

"Indeks dari sikap tenang dan santai, tetapi tetap serius. Memastikan bahwa sikapnya sudah benar. Sandiaga beberapa kali juga 'mengibaskan' tangan kepada pendukung ketika pendukung dianggap melakukan tindakan tidak respek terhadap lawan debatnya. Hal itu menunjukkan sikap kepemimpinan (menunjukkan wibawa ke lingkaran internal) dan pada saat yang sama menunjukkan kesantunan kepada pihak lain," tuturnya.

Acep juga menilai Sandiaga yang mengedepankan kasus riil sebaggai latar belakang program dan argumennya menunjukkan bahwa pasangan Prabowo itu tidak bicara sembarangan melainkan dengan fakta empirik. Kemudian, Sandiaga yang beberapa kali mengatakan 'jangan saling menyalahkan', 'ini bukan permasalah pilpres saja, tapi masalah besar Indonesia kedepan' merupakan indeks dari sikap keberanian sosial dan keikhlasan.

"Nyaris seluruh pemaparan Sandiaga sesuai dengan durasi yang ditentukan, kecuali pada waktu sisa di segmen tanya jawab. Hal itu menunjukkan ketenangan dan kontrol emosi yang baik dan penguasaan materi yang juga baik. Kontrol waktu ini adalah titik unggul paling menonjol kandidat 02 dari 01," ujar Acep.

"Sementara pernyataan penutup Sandiaga menunjukkan sikap yakin terhadap segala hal yang telah disampaikan dalam debat dan pernyataan bahwa ia lebih baik dari lawan debatnya. Tiga kartu terlalu banyak, tidak efektif, dan pemborosan biaya, padahal sudah tersedia satu kartu multiguna. Dalam debat, ini adalah 'retorika-metaforik' untuk mematahkan seluruh gagasan lawan sepanjang debat berlangsung," sambung dia. (mae/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads