Sekilas, tak ada orang di kapal yang sandar di Dermaga Pulau Tidung, Kepulauan Seribu ini. Namun terdengar suara dari pojokan ruang kapal, memecah sunyi.
"Berangkat nggak nih?" kata suara itu, terdengar seperti suara pria.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sumber suara ada di pojokan, di belakang kursi-kursi penumpang kapal yang kosong ini. Bucek, Ale, dan Fuadi sedang berbincang mengenai sepinya penumpang di bahtera tempat mereka mencari penghidupan. Tiga pria beranak-istri ini adalah anak buah kapal (ABK) Kapal Motor (KM) Zahro.
KM Zahro adalah kapal penumpang yang punya rute Pulau Tidung Kepulauan Seribu-Dermaga Kaliadem Jakarta Utara. Seharusnya, kapal ini berangkat tiap jam 09.00 WIB. Namun jarum jam di hari Kamis (21/2/2019) sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB.
Kapal ukuran 74 GT ini punya kapasitas 185 orang. Pengguna jasa mereka biasanya warga Pulau Tidung, pedagang yang membawa barang dagangan, hingga wisatawan. Ongkos untuk warga Pulau Tidung Rp 35 ribu sekali berangkat ke Kaliadem Jakarta Utara, dan ongkos untuk non-warga Pulau Tidung sebesar Rp 45 ribu. Bila dari Kaliadem ke Pulau Tidung, per orang ditarik biaya Rp 50 ribu.
Mereka mengamati penumpang-penumpang yang dulu naik kapal tradisional mereka, kini beralih ke kapal yang lebih modern, baik yang dioperasikan Dinas Perhubungan DKI maupun kapal cepat perusahaan swasta dari daratan Jakarta. Semuanya punya tujuan yang sama yakni Pelabuhan Kaliadem.
"Makanya sekarang kapal tradisional jarang jalan karena penumpangnya nggak ada," kata Bucek, pria berumur 38 tahun ini saat berbincang dengan detikcom.
![]() |
Kapal-kapal penumpang yang dimiliki warga setempat ini, biasa disebut ojek kapal tradisional, harus nombok biaya operasional bila memaksakan diri jalan ke dermaga Kaliadem dengan jumlah penumpang yang sedikit. Sekali jalan pulang-balik, 300 liter solar senilai Rp 1.950.000 dihabiskan. Kapal ini juga perlu membayar 1 nakhoda, 1 kepala kamar mesin, dan 3 ABK.
Para awak kapal juga harus tetap menghidupi keluarganya. Bucek dari KM Zahro ini misalnya, dia punya istri, anak kelas 4 SD dan anak yang masih TK. Para awak kapal tradisional lain juga mengalami problem serupa. Kini mereka seolah menjerit karena tak ada penumpang yang menggunakan jasa ojek kapal mereka.
"Hampir empat bulan belum ada penumpang, Pak. Tadi dua orang saja," kata Ipul, anak buah kapal KM Cahaya Laut, resah di dermaga. "Ada 12 kapal di Tidung. Nganggur total kayak gini," imbuhnya.
"Kami minta solusi dari pemerintah untuk kapal-kapal tradisional ini, sukur-sukur kami direkrut jadi pegawai," pinta Ipul yang belum memperoleh duit ini. "Dapat zonk, nol!"
Ada pria tua yang duduk menghadap kapal-kapal kosong melompong. Suhardi namanya. Dia adalah orang yang punya KM Kurnia, kapal dengan berat kotor 81 ton berkapasitas 220 penumpang. Kapal seharga lebih dari Rp 700 juta yang dia beli tahun 2013 itu kini tak lagi ramai penumpang. Para anak buah kapalnya yang dulu bisa mendapat penghasilan Rp 1,5 juta hingga Rp 3 juta per bulan kini harus bertahan hidup dengan mancing ikan.
"72 kepala keluarga lumpuh tidak dapat penghasilan. Hampir enam bulan sepi penumpang," keluh Suhardi.
![]() |
Pria 60 tahun ini menjelaskan, sekali kapal beroperasi menempuh rute Tidung-Jakarta-Tidung, biaya operasionalnya Rp 3,5 juta. Itu hanya bisa ditutup bila ada penumpang. Namun mereka yang biasa naik kapal milik Suhardi kini memilih kapal yang lebih cepat dan modern, meski kadang masih sering menitip barang belanjaan ke kapal Suhardi. "Apa nggak sakit kita?" ujar Suhardi.
Dia mengeluarkan biaya rutin berupa pemeliharaan (naik dock) minimal Rp 15 juta sekali setahun, perpanjangan sertifikat keselamatan kapal dan izin penumpang tiap satu semester sebesar Rp 2 juta, dan penggantian rompi pelampung (life jacket) yang dinyatakan rusak oleh petugas pemeriksa, sebanyak sekitar 50 unit rompi per tahun. Satu rompi pelampung seharga Rp 42 ribu hingga Rp 90 ribu untuk yang berkualitas. Rompi itu tidak rusak karena dipakai penumpang dengan seharusnya, melainkan rusak karena jadi alas duduk dan tidur.
"Apa nggak remek?" ucap Suhardi.
![]() |
Saking sepinya penumpang, dia sudah punya rencana untuk menjual murah kapalnya, ketimbang rusak tanpa menghasilkan duit. Dia ingin alih profesi bermodalkan uang hasil jual kapal. "Saya mau alih profesi. Saya masih dikasih hidup, saya perlu makan, perlu salin pakaian," kata dia.
Meski begitu, dia berharap pemerintah mau membantu orang-orang yang bekerja di kapal ojek tradisional dalam bentuk subsidi, supaya ongkos penumpang lebih murah. Juga, kapal-kapal canggih yang dirasanya menghalangi rezekinya perlu dialihkan tempat sandarnya ke dermaga lain, tanpa bercampur dengan kapal tradisional yang ngos-ngosan cari penumpang.
Ditemui detikcom secara terpisah, Bupati Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta, Husein Murad, menilai transportasi kapal di Kepulauan Seribu masih perlu ditingkatkan, baik dari segi jumlah armada maupun rutenya. Soalnya, transportasi adalah kunci kesejahteraan orang kepulauan. Bila ongkos transportasi murah dan aksesnya mudah, maka harga kebutuhan pokok di pulau bisa lebih murah.
"Transportasi menjadi kata kunci di sini," kata Husein.
Hingga saat ini dia melihat ada lima kapal beroperasi dan satu Kapal Sabuk Nusantara yang melayani transportasi Kepulauan Seribu. Jumlah itu di luar kapal ojek tradisional. Husein merasa jumlah itu belum ideal untuk Kepulauan Seribu. Dia menyampaikan akan ada empat kapal Dinas Perhubungan (Dishub) yang bakal menambah kapal Dishub sebelumnya. Meski begitu, kapal tradisional tak boleh tersisihkan. Pemerintah Jakarta akan menolong orang-orang kapal ojek tradisional yang sudah menjerit.
"Kapal tradisional perlu tetap menjadi pelaku. Jangan sampai kapal-kapal dari Dinas Perhubungan ini ada, namun kapal-kapal tradisional menjadi mati. Dinas Perhubungan sedang bekerja keras merumuskan skemanya. Selama ini yang melayani penduduk adalah kapal-kapal tradisional ini," kata Husein.
Baca berita lainnya mengenai Teras BRI Kapal Bahtera Seva di Ekspedisi Bahtera Seva.
(dnu/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini