Salah satunya Toyib, pecalang beragama Islam generasi pertama yang ada di Desa Adat Tuban. Toyib sudah menjadi pecalang selama hampir 20 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Toyib mengatakan masyarakat di desa adat Tuban mayoritas beragama non-Hindu. Namun, kerukunan antarumat beragama sudah terjalin lama dan saling menghormati. Hingga saat ini, dia mengaku belum menemukan kejadian atau pelanggaran selama Nyepi.
"Penduduk di sini heterogen non-Hindunya lebih besar daripada Hindu jadi kegiatan keagamaan itu apabila upacara keagamaan itu non-Hindu jadi kita yang terlibat di sana. Tapi tidak menutup kemungkinan kita juga terlibat, dalam artian tidak ada batasan apakah Hindu tapi kita berbaur jadi satu. Kita di Tuban sudah jadi keluarga pakilitan, Hindu ada yang nikah sama Muslim, Muslim sama Hindu kita jadi keluarga dan terikat tak terpisah," jelasnya.
Toyib yang mulanya bekerja sebagai linmas itu akhirnya terlibat dan bertugas menjadi pecalang. Dia mengaku tak menemui kesulitan saat awal mula bertugas menjadi pecalang.
"Pengalaman secara khusus ndak ada karena semua masyarakat ini satu sudah mengenal kita sebelumnya, karena (saya) lahir di sini. Justru kita bangga toleransi antarumat beragama di Tuban luar biasa semua kegiatan, misal ada warga Muslim yang meninggal pecalang dilibatkan untuk mengawal, saat mengantar jenazah ke kuburan dikawal pecalang. Jadi kelihatan kerukunan antarumat beragama di Tuban luar biasa," katanya.
Pria keturunan Bugis ini mengaku tak ada yang istimewa dengan tugasnya sebagai pecalang. Dia berharap perbedaan keyakinan tidak menjadi penghalang
"Justru saya kaget beberapa tahun ini pecalang muslim jadi sorotan di beberapa program tv. Memang kita ingin menunjukkan di Indonesia, Bali jadi contoh. Janganlah perbedaan keyakinan itu buat kita gaduh pada intinya agama itu sebuah keyakinan, Tuhan itu satu, bagimu agamamu, bagiku agamaku kenapa dibuat gaduh," cetusnya.
Dia yakin toleransi antarumat beragama di Tuban tetap lestari. Apalagi budaya warga keturunan Bugis sudah sangat lekat dengan budaya Bali karena mereka sudah tinggal lama di Pulau Dewata.
"Kerukunan umat di sini sudah ratusan tahun, tahun 1932 sudah ada nisan asal Bugis, kan nggak mungkin bawa nisan dari sana. Saya malah belum pernah ke Bugis, nggak tahu Bugis itu di mana karena saya lahir dan kakek saya sudah di sini. Kami ngomong bahasa Bugis bisa tapi ya nyampur sama logat Bali," ujar ayah dua anak itu.
Hal senada juga diceritakan Triono yang sudah 16 tahun bertugas sebagai pecalang. Mantan anggota linmas itu langsung menyatakan setuju ketika ditunjuk menjadi pecalang.
"Saya nggak pakai mikir, langsung siap. Sudah sejak kecil di sini, jadi sudah tahu Nyepi seperti apa, " ujar Triono.
(ams/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini