KPAI mencatat pada tahun 2011 peristiwa yang sama terjadi di salah satu SMA di Jakarta. Lalu, pada 2012 kembali terjadi di sekolah TK di Gunungkidul Yogyakarta.
"Nah pada tahun lalu di 2018 kita juga melakukan penanganan pada kasus serupa yaitu ada 6 siswa anak yang sudah yatim piatu ayah ibunya sudah meninggal karena HIV, kemudian anak ini dirawat secara bersama-sama oleh pihak gereja, ini pun mendapat penolakan, ini letaknya di Samosir. Nah terakhir 14 siswa ini juga adalah kasus yang berikutnya," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti di Kantor KPAI, Jl Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/2/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Retno mengatakan 14 siswa yang ditolak itu bersekolah di sekolah negeri. Artinya, kata Retno, pemerintah punya kewenangan penuh untuk menempatkan anak-anak berada di sekolah itu.
"Kalaupun terjadi penolakan dari para orang tua dan mengancam menarik anak-anaknya dari sekolah itu, ya biarkan saja, toh artinya anak-anak ini ditempatkan di sana tidak membahayakan, karena HIV ini adalah penyakit yang tidak menular karena lewat kontak fisik, karena berpelukan, bergandengan, makan satu tempat, minum satu tempat, dan tidak akan melukai anak yang lain," ujarnya.
Retno menjabarkan penularan penyakit HIV/AIDS sangat spesifik melalui cairan seperti ASI. Sementara, 14 siswa itu sudah tidak menyusu ke ibunya. Sehingga penularan tidak mungkin terjadi.
"Misal cairan ASI, anak-anak ini kan sudah tidak menyusu ke ibunya. Kedua cairan vagina dan sperma, anak-anak ini kan tidak melakukan hubungan seksual. Kemudian dari darah yaitu ketika transfusi darah dan terakhir jarum suntik. Keempat-empatnya, tidak mungkin dilakukan anak-anak ini. Sehingga penularan tidak mungkin terjadi," ucapnya.
Karena itu, KPAI mendorong pemerintah mensosialisasikan ke masyarakat soal penularan HIV/AIDS. KPAI menegaskan anak-anak tersebut berhak mendapatkan pendidikan.
"Karena ini pengetahuan dan KPAI mendorong untuk agar pemerintah sosialisasi kepada lapisan masyarakat, karena penolakan yang terus menerus terjadi dan menimpa anak-anak. Sehingga mereka kehilangan hak atas pendidikan. Nah ini untuk kasus terakhir ya untuk yang 14 siswa dikeluarkan dari sekolah karena menderita HIV," tuturnya.
Sebelumnya, 14 anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di Solo terpaksa keluar dari sekolahnya karena ditolak orang tua murid. Pihak-pihak terkait kini masih mencari solusi untuk masalah tersebut.
Peristiwa itu terjadi pada Januari 2019. Hingga kini para ADHA belum bersekolah dan hanya belajar di rumah singgah atau selter khusus ADHA di kawasan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bhakti, Pucangsawit, Jebres, Solo.
Ketua Yayasan Lentera, Yunus Prasetyo, membenarkan kejadian itu. Ke-14 anak tersebut sudah tidak bersekolah lagi di SD Purwotomo.
"Para orang tua murid membuat surat keberatan atas keberadaan anak-anak kami di sana. Kami sedang berkoordinasi dengan pemerintah," kata Yunus saat ditemui di selter Lentera, Rabu (13/2). (idh/hri)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini