Masyarakat di Pulau Jawa ataupun masyarakat lain yang sering melakukan mobilitas di Pulau Jawa pasti sangat senang dengan kehadiran jalan Tol Trans Jawa. Hal utama yang paling menguntungkan bagi masyarakat yang menggunakan tol tersebut tentu saja mengenai waktu. Dengan adanya tol tersebut, waktu tempuh antarkota maupun antarprovinsi di Pulau Jawa tentu akan terpangkas secara signifikan. Sebagai contoh, perjalanan Jakarta-Surabaya via Tol Trans Jawa diperkirakan dapat ditempuh selama kurang lebih 10 jam saja.
Hal tersebut tentu sangat menguntungkan, baik bagi masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum dan barang yang hilir mudik melayani kebutuhan masyarakat. Namun, meski belum lama diresmikan dan digadang-gadang sebagai salah satu hasil proyek paling prestisius bagi masyarakat, Tol Trans Jawa justru mulai mendapatkan kritik dari para penggunanya. Hal pertama dan utama yang menjadi sasaran kritik adalah mengenai persoalan tarif yang dianggap terlalu mahal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi kendaraan pribadi, mungkin nominal tersebut dianggap tidaklah terlalu mahal jika dibandingkan dengan berkurangnya waktu tempuh yang dilalui. Namun, bagi pengguna tol dari segmen angkutan logistik, tarif di atas tentu sangat berpengaruh bagi operasional mereka. Tidak hanya operator atau perusahaan logistik yang keberatan menanggung biaya operasional, para sopir truk juga keberatan karena harus mengatur ulang uang operasional yang diberikan oleh perusahaan agar bisa mencukupi selama perjalanan.
Jika terus dibiarkan, permasalahan tarif tol yang dianggap mahal tentu akan memberikan dampak buruk bagi pengelola tol itu sendiri. Dengan mahalnya tarif tol yang diberlakukan, tentu akan berdampak pada rendahnya volume kendaraan yang melintas di jalan tol tersebut. Rendahnya volume kendaraan yang melalui tol akan membuat pemasukan operator jalan tol menjadi tidak maksimal. Hal ini berpotensi membuat operator tol merugi dan tidak sebanding dengan investasi yang ditanamkan sebelumnya.
Sedangkan, di sisi lain kendaraan logistik bisa saja menjadikan jalur tol sebagai alternatif belaka. Mereka dapat kembali beralih ke jalur tanpa biaya atau jalur lama (Pantura atau Lintas Tengah Pulau Jawa) meskipun dengan risiko kemacetan yang lebih tinggi. Bisa disimpulkan, permasalahan mahalnya tarif Tol Trans Jawa pada akhirnya akan dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni operator tol dan pengguna tol (khususnya angkutan logistik).
Harus ada solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak agar pengelola tol mendapatkan keuntungan, dan pengguna jalan tol dapat merasakan keuntungan dan kenyamanan. Solusi yang dapat ditawarkan saat ini adalah subsidi silang dari kendaraan pribadi untuk kendaraan logistik. Secara esensi dan kepentingan, jalan tol seharusnya dibangun untuk memudahkan dan mempercepat perpindahan barang dan manusia.
Atas dasar tersebut, sudah saatnya kepentingan umum didahulukan di atas kepentingan pribadi. Secara operasional, hal ini dapat dilakukan dengan cara menaikkan tarif untuk kendaraan pribadi untuk mensubsidi tarif kendaraan logistik. Dengan logika seperti ini, multiplier effect-nya tentu akan sangat terasa bagi masyarakat luas, bahkan yang tidak menggunakan tol sekalipun. Dengan tarif tol yang rasional bagi kendaraan logistik, tentu volume kendaraan logistik yang melalui jalan tol akan semakin meningkat, pengiriman barang logistik akan semakin cepat dan mudah, yang berimbas pada stabilnya harga kebutuhan bahan pokok.
Selain itu, operator tol akan tetap mendapatkan pemasukan yang signifikan. Efek lainnya dari solusi tersebut secara jangka panjang juga diharapkan dapat meningkatkan performa kegiatan logistik Indonesia, yang menurut data Logistics Performance Index (LPI) Indonesia masih kalah dibanding Malaysia dan Thailand. Indonesia masih berada di urutan 46, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing berada di urutan 41 dan 32 dari total 160 negara.
Gerry Mahendra dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini