Jerat-jerat satwa yang dipilah Syamsuar ini hasil temuan tim patroli di Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh. Ayah tiga anak yang akrab disapa Pak Syam ini termasuk salah seorang ranger. Tugasnya, berpatroli selama berhari-hari di hutan untuk memantau kerusakan hutan serta mencari jejak satwa liar untuk didata.
Namun di usianya yang sudah setengah abad, Pak Syam tak lagi sekuat dulu. Dia kini sudah lebih banyak menghabiskan waktu di stasiun riset di Aceh Selatan. Tugasnya, menemani peneliti asing dan membantu berbagai kegiatan lainnya.
"Saya bergabung di konservasi pada Maret 1993. Itu sebagai asisten di stasiun riset Suaq Belimbing di Kluet Selatan, Aceh Selatan. Itu stasiun Orang Utan tercerdas sedunia," kata Syamsuar mengawali ceritanya saat ditemui, di Banda Aceh, Kamis (24/1/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Dua kali saya ingin dibunuh. Pertama di Stasiun Riset Suaq Belimbing dan sekali lagi di Stasiun Soraya. Itu pengalaman buruk yang saya alami. Mungkin waktu itu mereka marah karena kita kasih pemahaman kepada orang main kayu. Maklum masyarakat mungkin terganggu periuk dia ya marah. Dan saya juga marah, melawan untuk bela diri akhirnya aman," jelas Pak Syam.
Selain bertugas di Stasiun Riset, Pak Syam juga menjadi tim ranger. Dia mulai patroli perdana pada 2004 lalu. Kala itu, dia berangkat dari satu kawasan di Sumatera Utara dan berakhir di Aceh Timur. Waktu tempuh selama 20 hari dengan berjalan kaki menyusuri hutan Leuser.
Selama berjalan, tim patroli berjumlah tiga orang itu membawa tas ransel masing-masing dengan berat 30 hingga 40 kilogram. Di dalamnya berisi perlengkapan seperti bahan makanan, obat-obatan dan berbagai keperluan lainnya. Tugas berat itu diembannya semata-mata untuk menyelamatkan hutan Tanah Rencong tetap lestari.
Pernah ketika patroli, Pak Syam dan tim terjebak banjir. Saat hendak kembali ke camp yang dibikin di tengah hutan, sekonyong-konyong hujan deras mengguyur. Sungai meluap sehingga banjir. Ketiga ranger terpaksa bertahan di seberang sungai selama 17 jam sambil menunggu air surut.
"Kami kelaparan waktu itu. Padahal kami sudah bisa lihat camp tapi tidak bisa ke sana karena air sungai meluap. Akhirnya kami bertahan dari jam 4 sore dan baru bisa balik ke camp jam 9 besoknya. Itu sangat berkesan," ungkap pria asal Kluet Selatan, Aceh Selatan ini.
![]() |
"Selagi saya masih hidup saya tetap di konservasi. Kalau bukan kita siapa lagi. Kita lihat juga di lingkungan masyarakat kita itu hanya sekian persen yang peduli dengan lingkungan, kebanyakan orang merusak," kata Pak Syam.
Pak Syam mengaku sangat marah jika mengetahui adanya orang yang melakukan pembalakan liar atau merambah hutan. Terlebih jika pelakunya oknum yang mengetahui tentang hukum.
"Semua yang mengganggu satwa dan hutan itu membuat saya jengkel sekali. Saya banyak bermasalah sebenarnya bukan sama masyarakat tapi sama orang yang sudah mengetahui tapi tetap merusak hutan," bebernya. (agse/jbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini