Seperti biasa, pro dan kontra terkait hasil debat segera mengemuka. Kadang-kadang hal itu berlangsung secara tidak rasional, terutama di kalangan para pendukung dari masing-masing paslon. Unsur subjektivitas tampak sangat menonjol. Tidak heran jika kemudian muncul fenomena saling klaim kemenangan antarpendukung kedua paslon.
Kekhawatiran Berlebihan
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, pada debat capres pertama ada empat isu yang diperdebatkan. Keempat isu tersebut adalah hukum, hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan terorisme. Namun, sayangnya perdebatan seputar isu-isu tersebut minim dari penajaman tentang kasus-kasusnya yang aktual atau yang tengah hangat.
Dalam konteks hukum, misalnya, kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan terlepas dari perdebatan. Padahal kasus tersebut kerap diangkat, terutama oleh pihak penantang dalam berbagai forum sebelum debat berlangsung. Namun, di debat yang sesungguhnya Prabowo-Sandi tidak menyinggungnya sama sekali.
Demikian pula dalam konteks HAM, kasus penculikan aktivis tidak disinggung sama sekali oleh petahana, Jokowi-Ma'ruf.
Padahal khalayak sesungguhnya sangat perlu mendapatkan ide atau program dan langkah konkret dari setiap paslon terkait kasus Novel tersebut. Bagaimana misalnya Jokowi sebagai petahana bisa menjelaskan alasannya mengapa sampai saat ini kasus tersebut belum diselesaikan, apa saja kendalanya, dan sebagainya, sehingga khalayak pun menjadi tahu persoalannya.
Sebaliknya, khalayak juga perlu mengetahui pula bagaimana program dan langkah Prabowo menyelesaikan kasus itu jika terpilih menjadi presiden. Apakah solusi yang ditawarkan benar-benar akan bisa diterapkan sehingga bisa menyelesaikan kasus tersebut dan lebih baik dari petahana. Tetapi, karena tidak ada perdebatan mengenai kasus itu, khalayak menjadi sulit untuk menilai manakah paslon yang lebih mampu.
Bandingkan dengan debat capres dan cawapres yang diselenggarakan di Amerika Serikat. Perdebatan betul-betul menyangkut kasus aktual yang tengah dihadapi bangsa dan negara AS. Dalam perdebatan antara Barrack Obama versus John McCain, misalnya, kasus penempatan tentara AS di wilayah Timur Tengah menjadi salah satu yang disorot.
Demikian pula dalam debat capres terbaru antara Hillary Clinton versus Donald Trump. Di antara kasus aktual yang diangkat dalam debat tersebut adalah pembatasan imigran. Dengan mengangkat kasus aktual, rakyat AS menjadi tahu capres mana yang memiliki program yang benar-benar konkret dan menguntungkan mereka sebagai warga negara.
Dalam konteks debat capres dan cawapres di Indonesia seperti tadi malam, hemat saya, terdapat kekhawatiran yang berlebihan pada setiap paslon. Kesantunan politik agaknya dijadikan sebagai salah satu alasan. Hal itu seperti diungkapkan oleh Direktur Materi Debat BPN Prabowo-Sandi, Sudirman Said (detikcom, 18/1).
Bisa saja alasan ini karena adanya kekhawatiran kalau kasus-kasus itu diungkap dalam debat, akan terjadi saling serang yang sengit antarkedua paslon. Ini pula yang tampaknya dikhawatirkan KPU sebagai penyelenggara debat sehingga mereka tidak menghendaki adanya kasus-kasus aktual diangkat ke dalam debat.
Namun, sebenarnya alasan tersebut tidak cukup logis bahkan terkesan menyiratkan kekhawatiran yang berlebihan. Saling serang dalam debat tidak perlu dikhawatirkan, baik oleh kedua kubu paslon dan para pendukungnya maupun penyelenggara. Fenomena itu merupakan hal yang biasa dalam proses politik, apalagi acara debat seperti ini sudah berlangsung beberapa kali, baik pada level lokal maupun nasional.
Saling serang dalam kampanye politik, termasuk debat capres, sebenarnya dibolehkan. Itulah yang disebut Lynda Lee Kaid dalam Handbook of Political Communication (2004) dengan kampanye negatif (negative campaign). Asalkan serangan-serangan tersebut berbasiskan pada data dan fakta yang valid, bukan fitnah atau berita bohong (hoax).
Ketika dalam debat itu terjadi kecenderungan saling serang yang berlebihan sampai kepada masalah-masalah personal, misalnya, maka ada moderator yang bisa mengendalikannya. Di sinilah fungsinya seorang moderator dalam debat capres dan cawapres. Ia bertanggung jawab agar lalu lintas debat berlangsung di atas koridor-koridor yang telah disepakati.
Karena itu, sekali lagi, sangat disayangkan jika acara penting seperti debat capres dan cawapres digelar tanpa berhasil mengungkapkan ke khalayak ide atau gagasan atau program konkret yang akan diterapkan masing-masing paslon. Dengan kata lain, acara debat capres dan cawapres terkesan lebih bersifat formalitas saja.
Padahal debat ini memainkan peran yang cukup penting. Apalagi sasaran debat sebenarnya lebih mengarah pada pemilih-pemilih rasional terutama mereka yang masih mengambang dalam menentukan pilihan politiknya (swing voters). Jumlah mereka pun cukup banyak mengacu pada hasil jajak pendapat dari sejumlah lembaga survei.
Karakter para pemilih mengambang ini biasanya tidak terburu-buru untuk segera menentukan pilihan politik. Mereka lebih suka menunggu sampai yakin mana paslon yang benar-benar memiliki program kerja yang konkret dan logis. Dan, hal itu didapatkan dari perdebatan yang mengangkat kasus-kasus aktual. Kalau tidak, mereka mungkin akan terus mengambang sampai tibanya waktu pemilihan.
Semoga di empat debat berikutnya, ada upaya perbaikan terhadap jalannya acara tersebut. Dan, pihak KPU sebagai penyelenggara diharapkan bisa memperhatikan masalah ini. Demikian pula dengan kedua paslon beserta para tim kampanyenya masing-masing. Khalayak pun akan lebih termotivasi untuk menonton debat.
Iding Rosyidin Pengurus Pusat Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (APSIPOL) Indonesia, Kaprodi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini