"Pers yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, bahkan sampai ke pelosok desa, merupakan kekuatan sosial yang harus dimanfaatkan dalam memantau jalannya Pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu menjalin kerjasama dengan pers," ujar Bamsoet saat menerima perwakilan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Pusat), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Dewan Pers di ruang kerja Ketua DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/01/19).
Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain, Ketua Umum PWI Pusat Atar Depari, Sekretaris Jenderal PWI Pusat Mirza Zulhadi, Ketua PWI Pusat Bidang Luar Negeri Abdul Aziz, Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana, Wakil Ketua IJTI Ratna Komala, anggota Dewan Pers Agus Sudibto serta Ketua Bidang Diklat, Kompetensi, dan Sertifikasi IJTI Jamalul Insan. Bamsoet ditemani Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Masinton Pasaribu dan Anggota Fraksi Partai Nasdem DPR RI Ahmad Sahroni.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di sisi lain, pers juga harus memperkuat independensi dirinya dalam menyajikan pemberitaan. Jangan ada berita bohong atau hoax di antara kita. Yang benar katakan benar, yang salah katakan salah. Jangan ada framing dengan narasi yang bombastis sehingga mengaburkan fakta dan membuat masyarakat bingung dalam menilai sebuah kejadian," tutur Bamsoet.
Dalam pertemuan tersebut, Bamsoet juga mendukung usulan Dewan Pers, PWI dan IJTI tentang perlunya regulasi untuk membuat kehidupan media sosial menjadi lebih bertanggungjawab. Tak seperti saat ini, yang menurutnya kehidupan di media sosial seperti hutan rimba yang tidak jelas aturannya. Akibatnya, hoax, ujaran kebencian, maupun tindakan kejahatan digital lainnya bisa bebas berkeliaran di semua platform media sosial.
"Jika ini terus dibiarkan, bisa-bisa bangsa kita hanya sibuk saling memfitnah satu sama lain. Memang sudah waktunya ada aturan yang jelas untuk membuat pengelola serta pengguna media sosial lebih bertanggungjawab. Di Jerman sudah ada Undang-Undang tentang media sosial, Enforcement on Social Networks (NetzDG) yang dibentuk pada akhir Juni 2017. Keberadaan UU tersebut salah satunya untuk memerangi maraknya ujaran kebencian di media sosial. Bahkan, situs dan platform yang menyajikan berita hoax bisa di denda hingga 50 juta Euro," jelas Bamsoet. (gbr/tor)











































