Menghapus Perkawinan Anak
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menghapus Perkawinan Anak

Rabu, 16 Jan 2019 15:08 WIB
Yulianta Saputra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Pool
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini membuat putusan yang progresif. Disebut progresif lantaran MK melalui amar putusan bernomor 22/PUU-XV/2017 telah mengabulkan sebagian tuntutan atas permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait dengan batas usia perkawinan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1).

Bunyi pasal yang dimohonkan yakni, "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun."

Sebagaimana diketahui, pengujian terkait batas usia perkawinan dalam undang-undang a quo diajukan oleh Endang Wasrinah, Maryanti, dan Rasminah dimana mereka diwakili sejumlah pengacara publik yang tergabung dalam Koalisi 18+.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Intinya, para pemohon yang mengaku sebagai korban perkawinan anak menilai ketentuan batas yang membedakan usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan itu dianggap diskriminasi. Beleid tersebut dianggap mengakibatkan hak-hak konstitusional mereka terlanggar, seperti hak atas kesehatan, pendidikan, dan tumbuh kembang yang dijamin konstitusi.

Bak gayung bersambut, MK pun menandaskan bahwa Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa usia 16 tahun dalam undang-undang a quo dianggap bertentangan (tegengesteld) dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Putusan tersebut diambil MK atas pertimbangan bahwa pasal tersebut memang bersifat diskriminasi terhadap perempuan dan tumpang-tindih dengan kebijakan wajib belajar dua belas tahun serta Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

Sekelumit Masalah

Meski patut diapresiasi, namun putusan MK terhadap Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan ini ternyata masih menyisakan sekelumit masalah. Sebab dalam putusannya, MK memberikan batas waktu paling lama tiga tahun bagi DPR dan pemerintah untuk merevisi undang-undang a quo.

Hal ini tentu saja masih menimbulkan ketidakpastian perlindungan anak dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Ihwal ini berarti bahwa kuantitas kasus pernikahan anak sangat mungkin belum akan turun dalam tiga tahun ke depan lantaran batas waktu revisi tersebut.

Padahal di sisi lain kita bisa jumpai kondisi darurat praktik perkawinan anak di Indonesia sudah memasuki etape yang sangat mengkhawatirkan. Tengok saja, rilisan data dari United Nations Children's Fund (Unicef) per 2017, Indonesia menduduki peringkat 7 angka perkawinan anak terbesar di dunia, dan menempati posisi ke-2 di negara ASEAN berdasarkan data Council of Foreign Relation.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 juga menyebutkan bahwa 17 persen anak Indonesia sudah menikah dan pada 2017, sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen telah berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Hal ini semakin diperkuat pula dengan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada sewindu terakhir (2011-2018) yang menunjukkan terdapat 101 anak korban pernikahan di bawah umur di mana 79 di antaranya adalah perempuan.

Solusi Tangkas

Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan lantaran anak telah kehilangan hak-hak yang seharusnya dilindungi oleh negara. Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut tentu akan menjadikan Indonesia terus-terusan berada dalam kondisi 'darurat perkawinan anak', dan niscaya semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana telah tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan perubahan dalam Undang-Undang Perkawinan yang terkait pengaturan batas usia perkawinan anak dengan merevisi batas usia perkawinan anak agar linier dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Batas waktu tiga tahun tentu tidaklah singkat. Toh, sebelumnya pemerintah sudah pernah mewacanakan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mencegah perkawinan anak sejak 2016.

Untuk itu, lewat putusan MK tersebut, sejatinya dapat menjadi momentum bagi pemerintah yang semestinya lebih peka dan mampu melihat bahwa perubahan Undang-Undang Perkawinan melalui upaya pengesahan Perppu bisa diambil sebagai solusi yang tangkas guna menyelamatkan generasi muda kita.

Yulianta Saputra, S.H., M.H alumnus Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads