Buku The World's Wild Places', a Time-Life series tentang Kalimantan yang diterbitkan 1970, berisi satu bab tulisan Sir David Attenborough berjudul Up Mt Kinabalu (Di atas Gunung Kinabalu).
Dalam tulisan itu, Attenborough melukis secara jelas sebuah gunung yang berselubung keanekaragaman hayati yang tak tertandingi.
"Gunung itu secara memiliki jumlah tumbuhan yang fenomenal. Puncaknya sangat indah sehingga kami mencoba bertahan di sana sekeras mungkin. Kalimantan terhampar luas di bawah kami."
Attenborough terus mendeskripsikan gunung itu dan yang terdapat di sekitar puncaknya. Ia berkata, "di antara gunung itu terhampar hutan hijau yang berselimut kabut."
- Menangkap kilauan bintang di langit Bromo, Ijen dan Kinabalu
- Investigasi BBC: 'Habitat 1.000 orang utan' di Kalimantan Barat terancam perusahaan kayu
- 'Lukisan binatang tertua' di dunia ditemukan dalam gua di Kalimantan
Buku itu memperkuat keinginan saya mengunjungi Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia. Saya pun bergairah mendaki gunung tertinggi yang ada di pulau itu.
Kajian terbaru berbasis citra satelit menunjukkan, pada tahun 1973 atau tak lama setelah tulisan Attenborough, 75% daratan Kalimantan merupakan hutan hujan tropis. Namun sejak saat itu luas hutan hujan tropis itu berkurang hingga 30%.
Wujud hutan itu pun berubah. Pepohonan di wilayah hutan yang cukup besar ditebang untuk perkebunan kelapa sawit.
Apakah saya benar-benar ingin melihat hamparan hutan hijau berselimut kabut itu?
Kinabalu merupakan situs warisan dunia versi badan PPB, Unesco. Kawasan ini didesan sebagai pusat keanekaragaman hayati di Asia Tenggara karena koleksinya yang luar biasa. Gunung setinggi 4.095 meter ini terbentuk dari intrusi magma yang naik ke permukaan satu juta tahun lalu akibat gerakan tektonik.
Karena elevasi dan lokasinya di daerah tropis, Kinabalu menyimpan bermacam-macam habitat, dari dataran rendah hutan hujan tropis hingga kawasan hutan di pegunungan. Ada pula hutan di dataran tinggi dan semak belukar.
Karena menyandang gelar dari UNESCO, 93% kawasan itu masih berupa hutan. Namun yang terhampar di luar kawasan itu berbanding terbalik.
Saat saya mendaki Gunung Kinabalu, usia saya akhir 30-an tahun. Ketika itu saya mencari momentum yang mengagumkan dan menginspirasi yang sangat sering dituturkan Attenborough.
Sebagai pengalaman pertama hutan sungguhan, perjalanan itu tidaklah mengecewakan. Menjelajah hutan hujan tropis begitu berbeda dengan perjalanan lainnya. Terdapat sungai yang terus-menerus mengaliri pepohonan yang tingginya tak pernah Anda bayangkan.
Ada juga burung-burung yang begitu indahnya bercuitan di atas kanopi. Saya melihat berbagai tanaman yang memangsa serangga seperti kantong semar, anggrek-anggrek yang menjuntai secara tidak biasa dari cabang-cabang pohon.
Dengan hiruk-pikuk suara itu, Anda tak punya persiapan untuk menyiapkan seluruh indera yang akan bekerja. Di hutan hujan tropis, alam terasa begitu nyata liar.
Gunung Kinabalu, seperti gunung lainnya, menyajikan tantangan sekaligus ganjaran yang setimpal berupa pemandangan yang asri. Dan saya jauh dari kata kecewa.
Dataran di puncaknya yang bundar dan luas menjulurkan pucuk gunung bergerigi di atas hutan hujan tropis. Sinar oranye matahari pagi pun memapar permukaan daun yang berkilauan.
Yang saya lihat berbeda dengan yang disaksikan Attenborough. Dia melihat hutan tebal sejauh mata memandang, sedangkan saya disambut hutan yang sempit, yang terbagi atas ladang kosong, perkebunan kelapa sawit, dan jalan raya menuju lokasi yang tidak hidup sebelumnya.
Bagaimanapun, saya masih kagum terhadap alam yang saya saksikan, meski sepertinya daerah ini telah banyak berubah.
Sepertinya ada yang hilang di Kalimantan. Di Sungai Kinabatangan, alam liar yang terdiri dari orangutan dan gajah kerdil terbatas pada koridor kecil hutan hujan tropis yang makin dikelilingi kebun kelapa sawit.
Ini adalah tempat yang fantastis untuk menyaksikan alam liar, namun semata-mata karena setiap makhluk hidup di kawasan ini tak punya jalan untuk melarikan diri.
Attenborough sebenarnya berhasil menyelamatkan Kinabalu dari proyek pembangunan jalan dan jembatan yang berpotensi semakin mempersempit alam liar ini.
Ini adalah wajah dunia modern. Alam rusak karena konsumerisme modernitas. Ini terjadi secara perlahan. Saking lambannya, Anda kerap tak mengetahui atau menyadarinya hingga suatu saat semuanya hilang.
Kajian terbaru WWF bertajuk Living Planet Report menyoroti ledakan konsumsi manusia yang secara linier menurunkan populasi di alam liar dalam beberapa dekade terakhir. Kepunahan spesies vertebrata atau yang bertulang belakang rata-rata mencapai 60% antara 1970 sampai 2014.
Kita sampai pada satu titik di mana dunia tidak menomorsatukan alam, tapi menjadikannya sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi. Seperti hutan hujan tropis Kalimantan yang menghilang, begitu pula penghargaan kita terhadap alam.
Attenborough berulang kali berkata, "pertanyaannya bukan kapan anak-anak kita mengaggumi alam, tapi kapan mereka kehilangan perhatian terhadapnya."
Kekaguman itu dapat kembali, terkadang hanya dengan cara melihat cabang pepohonan yang tertiup angin atau burung yang menarik cacing dari tanah sebelum memangsanya.
Sejumlah penelitian menemukan fakta, memelihara kecintaan kita terhadap alam merupakan kunci, bukan hanya untuk pelestarian lingkungan, tapi juga untuk kesehatan jiwa kita.
Saya tidak percaya pada kedukaan terhadap apa yang hilang, melainkan apresiasi yang masih kita miliki. Memperhatikan masa depan alam sangat vital hari ini.
Hampir 50 tahun setelah Attenborough menjejakkan kakinya di Kalimantan, saya melihat perubahan besar pada hutan hujan tropisnya.
Saya harap 50 tahun ke depan, seseorang yang berdiri di puncak Kinabalu akan melihat yang saya saksikan. Artinya, hutan itu masih tetap ada untuk membuat pendaki itu bertanya-tanya.
Anda dapat membaca artikel ini dalam bahasa Inggris di BBC Earth, dengan judul Revisiting Attenborough's Borneo. (ita/ita)