Sejak tahun 2014, masyarakat Indonesia terfragmentasi menjadi dua kubu seiring dengan munculnya pencalonan presiden dan wakil presiden. Alih-alih berhenti saat Jokowi-Jusuf Kalla terpilih dengan mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta, yang terjadi proses pengkubuan ini terus dipelihara, baik oleh oposisi dan juga pendukung Jokowi. Pembelahan ini semakin mengental saat adanya mobilisasi untuk memenjarakan Ahok dalam momentum Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2016-2017.
Media sosial yang awalnya menjadi tempat kelangenan, pertemuan antara sahabat lama dan baru, serta ikatan imajinasi kekeluargaan dengan foto-foto keluarga, sanak saudara, dan diri kemudian berubah menjadi medan keributan antara para pendukung pasangan calon.
Ironisnya, proses pengkubuan ini bukan hanya karena pilihan politik, tetapi juga dikuatkan dengan adanya algoritma dari Google dan media sosial itu sendiri, khususnya Facebook dan Twitter, di mana orang yang memiliki kecenderungan dan ketertarikan terhadap suatu isu akan disuguhkan kepada isu atau informasi yang disukai, dan kemudian mempertemukan juga dengan orang-orang yang sama. Konteks ini yang disebut oleh Merlyan Lim (2017) saat melihat keributan Pilkada DKI Jakarta dan juga fragmentasi politik sejak 2014 di media sosial sebagai kantong-kantong algoritma (algorithmic enclaves).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjalanan demokrasi pascarezim Orde Baru selama 20 tahun memungkinkan setiap orang merasa berhak berbicara. Di sini, alih-alih berbicara atas nama demokrasi, dalam media sosial orang juga merasa berhak untuk menyatakan kebenciannya terhadap sesuatu yang tidak ia sukai. Akibatnya, proses pengubuan justru menjadi semakin kuat. Meskipun dengan maksud bercanda dan sedikit melonggarkan ketegangan, ungkapan "cebong" dan "kampret" merupakan representasi dua kubu yang saling bertikai. Di tengah itu seakan tidak ada jalan alternatif dalam memandang politik Indonesia.
Dalam konteks inilah kehadiran capres fiksi Nurhadi-Aldo (Dildo) merupakan jalan ketiga dari politik Indonesia sekaligus memungkinkan untuk memecah kantong algoritma tersebut. Dengan penuh guyonan dan ungkapan-ungkapan gambar dalam foto di luar asumsi umum, kehadiran capres fiksi tersebut memberikan angin segar sekaligus mengademkan situasi politik Indonesia yang semakin memanas seiring dengan kampanye pilpres.
Gambar dan foto meme mereka tidak hanya meyakinkan dan lucu, tetapi juga mengembalikan kewarasan publik Indonesia di media sosial dengan cara yang sangat tidak waras; memporak-porandakan fondasi mengenai kebodohan, kenakalan, sekaligus kegetiran kehidupan itu sendiri terkait dengan dinamika politik akhir-akhir ini yang membuat kita pengap. Dengan menggunakan materi humor sehari-hari yang terjadi dan pernah dikonsumsi masyarakat, meme Dildo ini membuat orang tertawa terpingkal-pingkal karena kelucuan, keluguan, sekaligus kekonyolannya.
Karena itu, kehadiran Dildo dengan caranya sendiri, setidaknya mengembalikan kita untuk merenung bahwasanya ada yang salah dalam cara partai politik dalam kampanye. Ada derajat kemanusiaan yang semakin tergadaikan hanya karena kita memilih salah satu pasangan capres yang membuat kita harus kehilangan sahabat, saudara, dan juga keluarga hanya karena perbedaan pilihan politik. Padahal, kampanye politik seharusnya diliputi dengan kegembiraan sebagai bagian dari pesta rakyat dalam merayakan demokrasi, di mana sebelumnya, ketika rejim Orde Baru berkuasa, sangat sulit untuk dilakukan.
Di sini, meskipun guyonannya bersifat sarkasme dengan dominan maskulin, kehadiran capres fiksi ini justru disambut dengan hangat oleh publik maya. Hal ini terlihat dengan semakin bertambahnya pengikut (followers) Nurhadi-Aldo di media sosial. Misalnya, baru beberapa hari akun fanpage Nurhadi-Aldo @DildoforIndonesia dibuat, mereka sudah mendapatkan 138.872 pengikut. Untuk Instagram dengan nama nurhadi_aldo, akun ini sudah menuai 251 ribu pengikut dan 52, 5 ribu pengikut di Twitter melalui akunnya yang bernama sama.
Dengan semboyan "Menuju Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik", beberapa hari belakangan ini banyak dari warganet melalui akun media sosialnya kemudian berpartisipasi untuk terlibat dalam proyek ini dengan mengajukan juga sebagai calon legislatif di wilayah antah berantah, salah satunya adalah Wakanda, negara fiksi rekaan dalam film Black Panther.
Dukungan kepada capres fiksi tersebut harus dibaca sebagai alarm bagi partai politik yang saat ini sedang bertarung, baik dalam legislatif maupun pilpres. Ini karena, dukungan warganet kepada Nurhadi-Dildo merupakan bentuk kejenuhan sekaligus kemuakan terhadap pertarungan elite politik yang tidak lagi mempedulikan etika publik sekaligus suara masyarakat. Atas nama mendapatkan suara, mereka rela menciptakan dan memproduksi hoaks terus-menerus. Atas nama sentimen agama, mereka mematut-matutkan diri sebagai orang yang paling saleh agar bisa dipilih oleh masyarakat dengan menjadikan ibadah melalui swafoto sebagai bentuk kepantasan tersebut.
Di sisi lain, keberpihakan sekaligus pembelaan kepada masyarakat yang terpinggirkan yang juga menjadi lumbung suara untuk mereka hanya didengarkan untuk mendapatkan suara. Ketika suara itu didapatkan, dan salah satu pasangan capres menang, mereka justru akan ditinggalkan dan suaranya tidak pernah diberikan ruang yang pantas. Apalagi diartikulasikan menjadi kebijakan yang berpihak.
Proses kampanye masing-masing kubu harus dikoreksi dan ditimbang kembali dengan mengedepankan kewarasan publik sebagai jalan demokrasi. Jika ini tidak dilakukan, saya khawatir golput akan membengkak, membuat orang beralih kepada pasangan Nurhadi-Aldo. Di sini, orang akan benar-benar menempatkan fiksi jalan keluar sesungguhnya di tengah dua pasangan capres yang hanya banyak menjanjikan fiksi kehidupan tapi tidak terselesaikan dalam kerja-kerja dan program yang mereka buat.
Wahyudi Akmaliah peneliti di Pusat Peneliti Masyarakat dan Budaya (PMB) LIPI