Tahun Baru baru saja ditapaki. BMKG telah memberikan prakiraan dan bahkan peringatan dini angin kencang dan hujan lebat di hampir seluruh wilayah Indonesia yang saat ini sedang memasuki musim hujan. Di beberapa wilayah terjadi banjir dan longsor.
Di Riau bahkan dilanda kebakaran hutan lebih dari 20 hektar, persis di minggu pertama awal Januari 2019. Kondisi ini, sejatinya terprakirakan mengingat bagian timur dari wilayah utara Sumatera mempunyai mempunyai karakteristik musim yang sangat unik, yaitu mempunyai 2 (dua) periode "kemarau". Fenomena apalagi ini, setelah banjir (Padang, Banten), longsor (Sukabumi), tsunami dari Lombok, Palu dan Banten?
Siapapun yang bertugas dan duduk untuk memberikan prakiraan cuaca, iklim dan peringatan dini potensi cuaca ekstrem, ketidakpastian informasi menjadi "hantu" yang menakutkan. Kondisi traumatis ini dihadapi oleh semua petugas dan juga pimpinan yang mengawalnya. Sulit bagi siapa pun untuk memberikan prediksi yang pasti. Misalnya, kapan tepatnya hujan lebat tersebut akan menyebabkan longsor dan di lokasi mana saja. Dalam kasus Riau, kapan tepatnya awal musim kemarau pertama dimulai pada awal Januari dan Februari.
Sebaik apapun model prakiraan cuaca yang digunakan dan prakiraan yang dihasilkan, apakah itu oleh otoritas di negara maju dan apalagi di negara yang sedang berkembang, kondisi ketidakpastian prakiraan tidak bisa dihindari. Ketidakpastian ini semakin diperbesar dengan semakin tidak rapatnya sistem pengamatan yang terpasang. Ketidakpastian ini pada akhirnya menjadikan sebaran informasi peringatan dini kurang informatif, meragukan masyarakat, yang pada gilirannya menimbulkan ketidaksiagaan, ketidakpedulian, memancing hoax dan βyang pada ujungnyaβ sikap "menyalahkan".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa negara memanfaatkan kemampuan simulasi numerik ini untuk memprakirakan tsunami tektonis dan tidak menggunakan buoy. Hal ini menjelaskan perhitungan pakar tsunami Adit Gusman yang disebabkan oleh longsoran Anak Krakatau dan hampir sama dengan hasil pengamatan tide gauge yang terpasang di empat lokasi di Lampung dan Banten (Daryono, Kompas, 4 Januari 2019). Betapa pun tepatnya simulasi numerik prakiraan waktu tiba tsunami ini, sekali lagi, juga tidak lepas dari ketidakpastian. Terlebih lagi, perilaku tsunami di laut dangkal, seperti halnya di Palu dan Banten, jauh lebih komplek, rumit, dan non-linier dibanding perilakunya di laut lepas.
Mengurangi Ketidakpastian
Untuk mengurangi ketidakpastian yang traumatis, bukan tidak mungkin. Tetapi, jelas diperlukan upaya. Dalam kaitannya dengan tsunami, yang tentu diperlukan adalah kemampuan untuk mendeteksi sumber penyebab tsunami. Telah mulai dipahami bahwa ternyata tsunami tidak saja disebabkan hanya oleh gempa bumi tektonis, tetapi juga longsoran, likuefaksi, letusan gunung api di laut. Di daerah Alaska dan Green Land, kenaikan suhu global mengakibatkan longsornya gunung-gunung es yang men-trigger tsunami.
Berbagai otoritas kegempaan dan tsunami di dunia, termasuk BMKG, telah mampu mendeteksi gempa yang terjadi, menentukan sumber lokasi dan kedalamannya, serta potensi tusnaminya dalam waktu kurang dari 4 menit, bahkan juga 2 menit. Sebelum tsunami Aceh 2004, kondisi ini memerlukan lebih dari satu jam dan dengan ketidakpastian yang sangat tinggi.
Sebelum tahun 2004 itu, di dunia belum tersedia data komprehensif yang dapat menjadi rujukan untuk mengkorelasikan intensitas gempa tertentu dan skala besaran dan perilaku tsunami. Hal ini dikarenakan tidak banyaknya jaringan pengamatan seismik maupun permukaan tinggi muka laut.
Sebelum tahun 2004, kelompok kerja antar-pemerintah untuk sistem peringatan dini tsunami di Samudera Hindia (ICG-IOTWMS, IOC/UNESCO) mencatat tidak lebih 20 jaringan seismik dan 5 sistem pengamatan permukaan laut (sea level guage) di 28 negara di Samudera Hindia. Tahun 2016 tercatat telah terpasang 144 jaringan seismik dan 113 sea level gauges (Sakya, 2017). Ditambah, ratusan tide gauge untuk mencatat kenaikan tinggi muka gelombang laut terpasang di sepanjang pantai dan pelabuhan di negara-negara Samudera Hindia.
Saat ini memang belum dihasilkan model batimetri dengan resolusi yang tinggi, karena kurangnya data observasi geologi laut. Hal ini menjadi salah satu persoalan mendasar bagi para penanggung jawab sistem peringatan dini di beberapa negara. Namun demikian, semakin rapatnya jaringan sistem pengamatan di atas, diakui telah meningkatkan akurasi dan reliabilitas prakiraan informasi waktu tiba dan tinggi gelombang tsunami, paling tidak untuk sumber yang jauh (far-field), yang ketibaannya di pantai membutuhkan waktu lebih dari 3 jam. Prakiraannya bisa dijadikan rujukan yang andal untuk evakuasi masyarakat di wilayah terdampak.
Namum demikian, Angove dkk (2019) mencatat bahwa peningkatan ini belum dapat digunakan secara sahih untuk sumber tsunami yang penjalarannya kurang dari satu jam (near-field). Near-field tsunami ini penjalarannya bisa kurang dari 10 menit (Palu, Banten). Untuk mengurangi ketidakpastian informasi, khususnya near-field tsunami, Williamson dkk (2018) menyarankan perlunya peninjauan ulang jejaring sistem pengamatan yang saat ini telah terbangun, teknik pengolahan data, dan prosedur penyebarannya. Jelas diperlukan prediksi yang lebih cepat dan tepat.
Dalam pertemuannya pada Februari 2018, berdasarkan review laporan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, IOC/UNESCO merekomendasikan perlunya penggabungan sistem yang telah tersedia dengan sistem yang berkembang. Salah satunya pemanfaatan jejaring pengamatan, GNSS (Global Navigation Satellite System). Alat ini digunakan untuk mengamati pergeseran muka bumi karena memberikan informasi posisi atau lokasi (lintang, bujur, dan ketinggian) setiap saat.
Untuk lokasi yang tidak dilengkapi dengan sistem GNSS, beberapa negara men-deploy ocean bottom unit (OBU) untuk mengukur beda tekanan di laut dalam atau pun stand-alone tsunameter. Jepang, Kanada, dan AS membentangkan sistem pengamatan dengan kabel laut (cable based tsunameter) untuk beberapa lokasi terbatas. Peralatan ini dimaksudkan untuk mendeteksi informasi gelombang seismik dan tsunami secara lebih "dekat" dan "cepat". Prakiraan kemampuan sistem ini akan bisa meningkatkan kecepatan deteksi dan mengurangi ketidakpastian hingga 5 kali lipat (Angove, 2019). Betapapun, sistem pengamatan laut dalam tetap perlu dipadukan dengan pengamatan inderaja.
Alternatif lain adalah dengan memasang radar yang khusus dikembangkan untuk deteksi gelombang laut. Permanfaatan High Frequency Radar (HF Radar) dipertimbangkan karena kemampuan sapuan luasan pantauan wilayahnya lebih luas dibandingkan dengan GNSS yang berupa titik (Grill, 2016). Pengintegrasian sistem pengamatan di atas dengan sistem yang sudah terpasang, serta memperbaiki teknik pengolahan dan prosedur, akan dihasilkan informasi yang lebih cepat, lebih pasti, dan lebih andal dalam mendeteksi tsunami.
Sangat disadari, upaya pengurangan ketidakpastian informasi potensi tsunami hanyalah langkah awal dari peta jalan panjang untuk memitigasi korban. Masih banyak daftar PR yang harus dilakukan. Misalnya, pemetaan pantai secara komprehensif untuk mengatur ulang tata ruang pantai, pembuatan jalur evakuasi, pembangunan tempat perlindungan sementara, building code untuk lokasi sesuai dengan tingkat potensi keterpaparannya. Di samping diperlukannya dukungan pemahaman (literasi) serta kerelaan penduduk untuk tidak menghuni lokasi yang rawan.
Daftar panjang tersebut tidak saja mensyaratkan keterlibatan semua pihak, tetapi juga memerlukan waktu panjang, upaya struktural dan kultural, serta dukungan alokasi anggaran yang memang tidak sedikit. Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (SFDRR) mengasumsikan bahwa investasi 1 dolar AS untuk PRB akan memitigasi 10 dolar. Oleh karenanya, investasi di atas sepadan untuk keselamatan anak bangsa di masa yang mendatang.
Andi Eka Sakya perekayasa di BPPT dan Ketua ICG/IOTWMS - IOC/UNESCO
(mmu/mmu)