Dewan Ikatan Dai Aceh mengundang Calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto untuk menjalani Tes Uji Kemampuan Membaca al-Quran yang akan diadakan pada 15 Januari 2019 di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Surat yang akan dibaca adalah Surat al-Fatihah dan beberapa surat lainnya, sebagaimana disampaikan oleh ketua Dewan Ikatan Dai Aceh (Antara, 29/12) pada konferensi pers bertemakan Akhiri Polemik Keislaman Capres dan Cawapres dengan Uji Baca Al Quran.
Tidak ada masalah dengan tes ini. Toh KPU sendiri tidak melarang dan tidak pula mempermasalahkan. KPU hanya bertugas memastikan calon presiden memenuhi syarat yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Untuk syarat-syarat yang di luar itu, semuanya dikembalikan kepada masyarakat pemilih, sebab merekalah yang akan menentukan siapa calon terbaik yang akan mereka pilih, sesuai dengan selera dan kriteria mereka.
Hanya saja, syarat-syarat seperti ini akan membuat dunia politik Tanah Air tampak semakin "konyol". Politik identitas terlihat semakin kentara, tapi tanpa wajah yang jelas alias abstrak. Bisa saja ke depannya akan muncul lagi syarat-syarat yang lebih unik lagi. Misalnya, PSSI akan mengundang kedua calon presiden untuk lomba pinalti, dengan aturan siapa yang paling banyak mencetak gol, maka ia yang akan menjadi presiden rekomendasi PSSI kepada seluruh pecinta bola di Indonesia.
Atau, bisa saja PERCASI mengundang kedua calon presiden untuk adu catur, kemudian siapa yang menang akan direkomendasikan kepada seluruh pecinta catur di Indonesia. Begitulah seterusnya. Tidak ada habisnya, dan tidak ada ada ujungnya. Dan, kelihatan tidak cerdas sama sekali.
Dalam undang-undang dengan nyata sudah dijelaskan, yaitu dalam UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden: Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri; Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya; Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden; Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Syarat lainnya: Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara; Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; Tidak pernah melakukan perbuatan tercela; Terdaftar sebagai Pemilih; Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Disebutkan pula: Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G 30 S/PKI; Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.
Pemimpin dalam Islam
Ketika berbicara tentang syarat presiden atau pemimpin dalam Islam, maka pembahasannya adalah masalah al-Imamah al-Kubra. Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Dumaiji (dalam Kitab al-Imamah al-'Uzhma inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah: 229) menjelaskan sejumlah syarat seseorang layak menjadi pemimpin dalam Islam, yaitu al-Islam (Islam), al-Bulugh (balig), al-Aql (berakal), al-Hurriyah (berstatus merdeka, bukan budak), al-Dzukuriyah (laki-laki), al-Ilm (berilmu), al-'Adalah (baik agamanya), al-Kafaah al-Nafsiyah (kemampuan emosi), al-Kafaah al-Jismiyah (kemampuan jasmani), tidak tamak terhadap jabatan, keturunan Quraisy.
Semua syarat di atas, hanya beberapa poin saja yang disepakati para ulama, yaitu al-Islam (Islam), al-Bulugh (balig), al-Aql (berakal), al-Hurriyah (berstatus merdeka, bukan budak), al-Dzukuriyah (laki-laki), al-Ilm (berilmu). Sedangkan poin yang lainnya, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya.
Dari timbangan poin yang disepakati ulama ini, sebenarnya kedua calon presiden tidak ada masalah sama sekali dalam Islam. Jikalau poin al-Islam, maka keduanya muslim dan beragama Islam. Jikalau tes baca al-Quran ini bertujuan untuk mengakhiri polemik keislaman keduanya, maka itu sama sekali tidak tepat. Masuk Islam itu cukup dengan syahadat. Jikalau keduanya sudah mengucapkannya, itu sudah cukup. Jangan ditambah lagi. Kaidah mengatakan begini: al-Hukm bi al-Zhawahir la bi al-Bawatin (menghukum dengan lahir, bukan dengan batin). Jikalau ukurannya baca al-Quran, banyak orientalis yang non muslim bisa baca al-Quran dan mampu mengartikannya dengan baik.
Untuk poin al-Bulugh (balig), maka keduanya sudah balig. Bahkan dalam undang-undang sudah dijelaskan dengan terang bahwa syaratnya minimal sudah berusia 35 tahun. Untuk poin al-Hurriyah (berstatus merdeka, bukan budak), keduanya juga sudah memenuhi. Untuk poin al-Dzukuriyah (laki-laki), keduanya juga memenuhi. Walaupun syarat yang satu ini ada juga beberapa ulama dan cendekiawan muslim dari kalangan kontemporer yang mempermasalahkannya. Dan, poin untuk al-Ilm (berilmu), keduanya juga memenuhi. Keduanya sama-sama memiliki ilmu dan kemampuan manajemen yang akan digunakan dalam memimpin negara.
Terus tes Baca al-Quran ini mau ditempelkan ke mana? Paling tepat adalah ditempelkan ke bagian al-'Adalah (baik agamanya). Hanya saja, syarat ini diperdebatkan oleh para ulama mengenai wujudnya. Dalam pandangan Mazhab Hanafi, syarat ini hanyalah syarat al-Awlawiyah, yaitu syarat prioritas, bukan syarat utama. Dalam artian, jikalau ada dua calon, kemudian salah satunya lebih al-'Adalah (baik agamanya) dari yang lainnya, maka ia lebih utama.
Intinya, kepemimpinan itu bukan sekadar masalah al-Shalih dalam beragama, tetapi juga masalah kemampuan me-manage dan mengatur negara, kemudian menegakkan inti dan tujuan adanya Negara, yaitu Iqamah al-Adl (menegakkan keadilan). Jangan sampai panasnya hawa politik membuat kesadaran kita hilang dan membuat kita linglung. Dan, parahnya lagi membuat kita semakin ngawur.
Denis Arifandi Pakih Sati dosen Mahad Ali bin Abi Thalib, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta