"Memang ada di dalam Undang-Undang ITE itu adalah pasal pidana yang terkait dengan larangan untuk menyebarkan konten, materi yang berbau porno. Tetapi kan kalau dalam bisnis prostitusi online itu kan bukan konten pornonya, wong itu tawar menawar dengan ini biasa. Jadi kalau secara konten mungkin sulit dijerat dengan itu," kata Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengawali perbincangan soal pembahasan revisi UU KUHP di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/1/2019).
Arsul lalu menjelaskan kelemahan dari pasal-pasal tentang delik kesusilaan itu hanya bisa menjerat orang yang berprofesi memasarkan prostitusi, sedangkan pelaku dan pengguna jasa prostitusi tidak termasuk di dalamnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arsul juga menanggapi usulan agar pengguna jasa prostitusi dipidanakan. Saat ini, sebenarnya pengguna jasa prostitusi bisa dipidanakan, tapi memang harus ada aduan.
"Hanya pasal perzinaan di dalam KUHP kita yang ada sekarang itu kan pengertiannya adalah hubungan seksual antara laki dan perempuan di mana salah satunya itu sudah bersuami atau sudah beristri dan itu diadukan oleh suami atau istrinya. Jadi tidak merupakan delik biasa yang di mana polisi bisa langsung menindak atas dasar laporan dari siapapun, tidak tergantung apakah dia suami atau istrinya. Itu persoalannya memang ada di sana," ujar Arsul.
Lebih lanjut, Arsul menyatakan para pembentuk Undang-Undang akan melihat lagi apakah persoalan prostitusi online ini akan diatur lebih lanjut. Menurutnya, pembahasan dimungkinkan akan dilakukan setelah pemilu.
"Nah sekarang terpulang kepada kita para pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini DPR dan Pemerintah, apakah akan membiarkan ini berjalan tak tersentuh oleh hukum atau akan kita atur. Sebab begitu ingin kita atur kan ada juga yang nyinyiri, 'kok negara masuk terlalu jauh dalam urusan privasi orang?'. Kan begitu, ada yang seperti itu," tutur Arsul.
"Nanti kita perdebatkan lah, barangkali setelah pemilu. Kalau sekarang kan fokusnya lagi pada pileg dan pilpres," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, muncikari Robby Abbas tidak mau sendirian masuk penjara karena diseret jadi muncikari online. Ia meminta agar para pemakai jasanya juga dipenjara. Ia pun meminta keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tapi kandas.
"Persoalan hukum yang dipermasalahkan Pemohon adalah kebijakan kriminal, dalam arti menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana, di mana kebijakan demikian adalah politik hukum pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang yang terbuka untuk umum di gedung MK pada 5 April 2017.
Menurut MK, menyatakan suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana harus mendapat kesepakatan dari seluruh rakyat yang di negara Indonesia diwakili oleh para DPR bersama dengan presiden.
"Dengan demikian, dalam hubungannya dengan permohonan a quo, persoalannya adalah bukan terletak pada konstitusionalitas norma, melainkan pada persoalan politik hukum, dalam hal ini politik hukum pidana," tegas MK.
Saksikan juga video 'Artis yang Tak Punya Skill Rawan Ditawari Prostitusi':
(azr/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini