Indonesia kembali berduka. Bencana demi bencana datang silih berganti. Tsunami di Selat Sunda menjadi yang terbaru, menyusul Palu, Lombok, serta 2.000 lebih bencana alam yang terjadi di seluruh Indonesia selama 2018. Pemulihan di satu tempat belum selesai, ada lagi bencana di tempat lain.
Alam seakan mengajak kita kembali mengingat bahwa negara ini memang sangat rawan bencana. Sebut saja, keberadaan Indonesia di atas tiga lempeng tektonik dunia, jalur cincin api pasifik, jalur gempa Alphide yang merupakan salah satu jalur gempa paling aktif di dunia, serta iklimnya yang tropis. Kombinasi yang menyebabkan apabila dirata-rata terjadi lebih dari 5 bencana setiap harinya di seluruh wilayah Indonesia.
Selama ini, hal-hal mengerikan tersebut seolah bersembunyi di balik selimut keindahan alamnya. Tiga daerah yang baru-baru ini dilanda bencana merupakan daerah termasyhur dengan berbagai pesona wisatanya. Kemenpar mewacanakan assesment dan evaluasi manajemen kebencanaan dengan menggandeng pemerintah daerah dan instansi terkait.
Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana dengan ribuan nyawa yang telah menjadi korban, kerugian materiil, kerusakan lingkungan dan psikologis? Kerugian diharapkan dapat ditekan sesedikit mungkin. Tentunya itu dapat dilakukan apabila semua pihak mau bergandengan tangan bekerja sama, dengan pemerintah sebagai lokomotif utama dengan besarnya power yang dimiliki.
Terkait hal tersebut, lokomotifnya sudah mulai bergerak perlahan. Presiden Jokowi sudah memerintahkan untuk memasukkan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum pendidikan yang diharapkan mengurangi jumlah korban di masa yang akan datang.
Pendataan Menyeluruh
Pada 25 September 2015, negara-negara anggota PBB mengangkat rangkaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang menyertakan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, atau Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs disusun berdasarkan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang telah diupayakan dari tahun 2000 sampai 2015, dan akan memandu pencapaian tujuan global yakni pembangunan berkelanjutan hingga 2030 nanti.
PBB menaruh banyak perhatian pada penanggulangan bencana lewat SDGs. Penanggulangan bencana disebut-sebut dalam 3 dari 17 tujuan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan sebagai lembaga pemerintah yang berwenang menanggulangi bencana sekaligus melakukan pendataan menyeluruh. Terkait tujuan-tujuan tersebut BNPB diberi tanggung jawab untuk mengumpulkan angka-angka indikator yang dapat dibandingkan dengan semua negara.
Indikator tersebut berupa jumlah korban per 100.000 jiwa, Indeks Risiko Bencana Indonesia, jumlah daerah terdampak bencana yang memiliki layanan pendidikan khusus, dan sebagainya. Dalam pengumpulan datanya, BNPB bersinergi dengan Badan Pusat Statistik (BPS). BPS memberikan perhatian yang kuat untuk menyediakan data terkait bencana menggunakan pendekatan desa/spasial, pendekatan rumah tangga, dan kompilasi data sekunder.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data Terkini
Pelaksanaan Podes termutakhir berlangsung belum lama ini, yakni pada 1-31 Mei 2018. Hasil pendataannya mulai dapat diakses masyarakat luas melalui website BPS. Podes mendata 83.931 wilayah administrasi pemerintahan setingkat desa. Dari keseluruhan wilayah tersebut 19.675 desa/kelurahan pernah mengalami kebanjiran dalam 3 tahun terakhir. Sebanyak 10.115 desa/kelurahan menghadapi tantangan berupa gempa bumi. Dan, 1.808 desa/kelurahan menghadapi tantangan berupa gelombang pasang laut/tsunami.
Sementara itu berdasarkan upaya mitigasinya hanya 7.968 desa/kelurahan yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam. Sebanyak 2.738 desa/kelurahan memiliki perlengkapan keselamatan untuk menghadapi bencana. Selain itu, hanya 634 desa/kelurahan yang memiliki sistem peringatan dini khusus tsunami.
Data di atas menggambarkan kekhawatiran bersama tentang banyaknya desa yang rawan akan terkena bencana, namun jumlah desa yang memiliki sistem mitigasi jauh lebih sedikit. Hal yang sama terjadi dengan sistem sirine tsunami yang menurut humas BNPB hanya tersedia 52 unit dari kebutuhan 1000 unit dan buoy pendeteksi tsunami yang sudah tidak beroperasi sejak tahun 2012 karena tindak vandalisme.
Sedangkan, data pada level rumah tangga yang diperoleh dari Susenas Modul Ketahanan Sosial 2014 diketahui sebanyak 16,87 persen rumah tangga mengalami bencana alam. Dari jumlah tersebut ternyata 29,87 persen rumah tangga mengalami trauma dari bencana yang dialami. Terdapat 16,66 persen rumah tangga sudah mengetahui bagaimana cara menyelamatkan diri dari bencana alam. Masih dari data Susenas, hanya 9,7 persen rumah tangga mengetahui peringatan bencana, bahkan hanya 1,2 persen rumah tangga yang pernah mengikuti pelatihan tentang bencana alam.
Data dan statistik menggambarkan bahwa upaya pemerintah maupun stakeholder terkait antisipasi bencana perlu diperkuat lagi. Terutama upaya yang berorientasi pada rakyat dan memberi perhatian kuat masyarakat rentan. Masyarakat yang rentan harus dimasukkan dalam perencanaan kebijakan sebagai bagian manajemen risiko. Untuk itu diperlukan dukungan data yang tepat waktu, relevan, dan berkualitas terkait bencana.
Langkah pemerintah dalam memasukkan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum patut diapresiasi. Diperlukan juga diadakan latihan dalam menghadapi berbagai bencana alam yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Perlu sinergi dengan pemerintah daerah dan berbagai instansi, termasuk yang swasta. Jika diperlukan dapat diwajibkan dilakukan beberapa kali dalam setahun.Pun penting dilakukan prosedur khusus tempat wisata, yang mana telah menjadi salah satu penyumbang utama jumlah korban setiap terjadi bencana alam. Sementara dari sisi lain, penguatan infrastruktur mitigasi bencana juga perlu terus dilakukan. Sistem peringatan ketika terdeteksi akan terjadi bencana dan penanganan pascabencana yang lebih terkoordinasi juga penting untuk mengurangi jumlah korban dan dampak sosialnya. Dengan demikian kita berharap semoga di masa yang akan datang, kita lebih siap.