Di tengah perdebatan tersebut akhir 2013 saya menyempatkan mengunjungi Tembaga Pura bersama beberapa tokoh masyarakat saat itu untuk melihat serumit apa pertambangan mineral bawah tanah (tembaga dan emas) yang dikelola oleh PT FI. Ternyata memang rumit , perlu penguasaan teknologi dan investasi sangat besar, khususnya di lokasi tambang baru di bawah Grassberg yang belum dikuasai oleh tenaga ahli Indonesia. Selain itu sebagai awam, untuk menuju ke Tembaga Pura memerlukan nyali yang lumayan besar karena keterbatasan transportasi akibat seringnya cuaca tidak bersahabat dan ancaman keamanan di perjalanan.
Pertemuan demi pertemuan dilakukan oleh PT FI dengan pemerintah RI, khususnya Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan tentu saja dengan Presiden SBY (kala itu) namun tak kunjung selesai. Bahkan saat pemerintahan Presiden Jokowi, belum juga terjadi kesepakatan seperti yang diperintahkan oleh UU No. 4 Tahun 2009 dan juga Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proses akan menjadi semakin panjang dan tidak menentu jika tidak ada langkah out of the box dari pemerintah. Pada situasi demikian, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri ESDM Ignasius Jonan, sebagai regulator untuk memimpin perundingan hingga tercapai kesepakatan yang akan tertuang dalam Head of Agreement (HoA). Tulisan
kali ini hanya akan membahas proses perundingan hingga disetujuinya HoA karena proses selanjutnya sudah banyak yang mengulas, baik pro maupun kontra terhadap
langkah dan kesepakatan yang dibuat.
Rumitnya Proses Perundingan
Dalam situasi yang demikian, perkiraan saya perundingan selanjutnya akan alot dan melelahkan untuk mendapatkan kesepakatan, setelah penolakan PT FI atas perubahan dari KK menjadi IUPK, divestasi saham PT FI 51% (saat itu FI setuju divestasi saham hanya 30%) kepada pemerintah Indonesia, pembangunan smelter, dan yang terakhir PT FI bahkan mengancam akan mengajukan ke Arbitrase Internasional jika pemerintah Indonesia memaksakan permintaan tersebut di atas .
Menteri ESDM atas perintah Presiden segera melakukan proses lobi dan negosiasi dengan PT FI. Perundingan antarkeduanya banyak dilakukan di kantor Kementerian ESDM di Merdeka Selatan Jakarta dan sesekali Menteri ESDM bertemu RCA di Amerika Serikat. Perundingan intensif terus berlangsung hingga pada akhirnya sekitar April 2017, RCA mampir ke Kementerian ESDM dan berbicara dengan Menteri ESDM. Dalam pertemuan itu RCA ternyata setuju untuk kembali berunding membahas proses divestasi dan lain-lain yang terkait dengan keberadaan PT FI. Yang terpenting untuk Indonesia bahwa RCA mengatakan ia tidak akan melakukan gugatan ke Arbitrase Internasional.
Sebagai mantan banker senior yang pernah berguru di sekolah Administrasi Publik dan Diplomasi kelas dunia di Amerika, tentu bukan hal yang sulit untuk Menteri ESDM berbicara dan melobi pebisnis besar sekelas RCA. Terbukti akhirnya RCA mau berunding kembali. Perundingan demi perundingan terus berlangsung baik dengan Kementerian ESDM dan sektor lain yang terkait, termasuk melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Agung untuk mengantisipasi jika perundingan ini dipermasalahkan oleh publik dan politisi di kemudian hari.
Setelah melalui beberapa kali perundingan yang tidak mudah, pada 28 Agustus 2017, PT FI menyatakan bersedia melakukan divestasi saham hingga 51,23% bukan hanya 30%. Lalu bersedia mengubah kesepakatan dari KK menjadi IUPK supaya pendapatan negara lebih baik, PT FI juga sepakat untuk segera membangun smelter. Kesepakatan ini merupakan kesepakatan terpenting dalam perjalanan proses divestasi PT FI. Selesailah tugas Menteri ESDM sebagai regulator.
Selanjutnya pelaksanaan perundingan dengan pemerintah dilanjutkan oleh Kementerian Negara BUMN dan Kementerian Keuangan. Sayangnya terjadi kembali dead lock yang disebabkan karena Surat CEO PT FI kepada Menteri Keuangan perihal penolakan formula perhitungan finansial bocor ke publik. Pada akhirnya 5 Oktober 2017, saat meresmikan PLTU di Banten, Presiden kembali memerintahkan Menteri ESDM untuk membereskan perundingan yang macet, khususnya dengan RCA.
Keesokan harinya, 6 Oktober 2017, Menteri ESDM memanggil RCA yang kebetulan sedang berada di Jakarta untuk sekedar bincang-bincang. Pertemuan dilanjutkan dengan makan malam atau siang bersama. Akhirnya perundingan antara PT Inalum, Freeport McMoiran, dan Rio Tinto berlanjut dan pada 12 Juli 2018 HoA divestasi 51,23% saham PT FI disetujui. Pekerjaan Menteri ESDM selesai dan kemudian dikembalikan lagi kepada Kementerian Negara BUMN dan Kementerian Keuangan untuk melanjutkan perundingan menuju disepakatinya Sales & Purchasing Agreement (S&PA).
Saya sudah tidak mengikuti lagi saat perundingan antara pemerintah Indonesia (PT Inalum, Kementerian Negara BUMN, dan Kementerian Keuangan) dengan Freeport McMoran berlanjut, hingga pada akhirnya 27 September 2018, S&PA terkait divestasi saham PT FI yang terdiri dari perjanjian divestasi, perjanjian jual beli saham dan perjanjian pemegang saham PT FI disepakati oleh kedua belah pihak dengan diikuti masuknya dana hasil penerbitan obligasi sebesar USD 4 miliar ke rekening PT Inalum. Syukur alhamdulillah proses rumit ini selesai.
Langkah Pemerintah Selanjutnya
Dalam S&PA ada terms and conditions dan berbagai tahapan termasuk bagaimana penyelesaian tanggung jawab para pihak, termasuk pelunasan dana divestasi dari PT Inalum ke Freeport McMoran sebesar USD 3,85 miliar . Semua proses saat ini sudah selesai ketika pada 21 Desember 2018, Presiden mengumumkan bahwa proses divestasi PT FI selesai meskipun banyak bermunculan pendapat negatif di publik.
Untuk menghindari hiruk pikuk divestasi PT FI yang akan dijadikan komoditas politik pada debat calon presiden dan kampanye calon legislatif, sebaiknya pemerintah melakukan komunikasi publik yang ringan dan intensif dengan tidak menyerang para pihak yang tidak setuju proses divestasi ini. Jelaskan untung ruginya bagi rakyat, khususnya Papua, dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Saran saya, sebaiknya para pihak yang terlibat perundingan juga harus mempunyai semua dokumen tertulis maupun rekaman audio dan video seluruh proses ini dan disahkan sebagai dokumen asli untuk nantinya digunakan jika ada gugatan hukum. Proses sudah selesai dan sukses tetapi langkah ini menyimpan banyak hal yang dapat menarik pihak lawan politik untuk berperkara hukum.
Selain itu saya tidak tahu apakah perundingan menuju S&PA juga menyertakan BPK, Kejaksaan Agung atau bahkan KPK dan Bareskrim. Saya berharap pemerintah menyertakan mereka demi terciptanya tata kelola yang baik dan terhindar dari kasus korupsi di kemudian hari, seperti yang banyak disuarakan oleh para pengamat dan akademisi selama proses divestasi PT FI. Selamat Tahun Baru 2019. Semoga Indonesia lebih makmur di tahun 2019.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini