Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM, Antonius Ratdomopurbo, menjelaskan dimensi Gunung Krakatau enam kali lebih besar dari Gunung Anak Krakatau. Ledakan Gunung Krakatau pada 1883 membuat tiga pulau yang ada di sekitar gunung tersebut hilang.
"Kita sering membandingkan dengan (erupsi) 1883 ya, bisa dibayangkan, (Gunung) Anak Krakatau itukan 2 kilometer ukurannya, lah sebelum 1883 itu ada tiga pulau yang bergandengan dan itu (Gunung Krakatau) ukuranya 12 kilometer, dan itu (pulaunya) hilang," kata Antonius di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lah kita sekarang itu yang longsor sisi barat, barat dayanya Krakatau. Tetapi tidak bisa dibandingkan dengan 1883 karena 1883 itu pembentukan kaldera. Amblesnya sekitar 1 kilometer turunnya ke laut itu, yang tadinya ada tiga pulau besar, tiba-tiba pulau besar itu hilang. Nah itukan (memicu) tsunami 1883 dan itu Jakarta kena. Tapi bandingannya lain, skalanya lain dengan yang terjadi sekarang, demikian," beber Antonius.
Sebelumnya, Antonius juga sudah menepis analisis dari ahli vulkanologi asal Amerika Serikat, Jess Phoenix, yang menyebut Gunung Anak Krakatau memasuki fase mematikan. Antonius mempertanyakan istilah mematikan yang digunakan. Menurut dia istilah itu hanya untuk menarik perhatian.
![]() |
"Jadi judulnya mematikan, itu tidak seperti itu. Kalau orang naik ke puncak Krakatau ya mematikan. Judulnya tinggal konteksnya apa," ujarnya.
Hal senada dikatakan Ketua Ikatan Ahli Tsunami Gegar Prasetya yang mengatakan Gunung Anak Krakatau tak berpotensi meledak seperti ledakan dahsyat 1883 lalu. Tsunami yang diakibatkan erupsi Gunung Anak Krakatau pun tak akan lebih dahsyat dari kejadian 1883.
"Karena kalau dia hanya tinggal single point explotion, dari hasil riset saya, nggak potensial menimbulkan tsunami seperti dulu. Karena dimensinya masih kecil cuma 2 km x 2 km. Sementara kalau dulu, yang tahun 1883, dimensi gunungnya 7 km dan masih ada tubuh gunungnya belum pecah waktu terjadi letusan besar," tutur Gegar saat dihubungi terpisah.
PVMBG menaikkan status Gunung Anak Krakatau dari waspada (level II) menjadi siaga (level III), yang berlaku mulai 27 Desember 2018, pukul 06.00 WIB. PVMBG merekomendasikan masyarakat dan wisatawan tak melakukan aktivitas di dalam radius 5 kilometer dari puncak kawah karena berbahaya terkena dampak erupsi berupa lontaran batu pijar, awan panas dan abu vulkanik pekat.
Gunung Anak Krakatau aktif kembali dan memasuki fase erupsi sejak Juli 2018. Erupsi berupa letusan-letusan strombolian, yaitu letusan yang disertai lontaran lava pijar dan aliran lava pijar yang dominan mengarah ke tenggara. Pada 22 Desember 2018, lereng barat-barat daya longsor (flank collapse) dan longsoran masuk ke laut. Ada kemungkinan inilah yang memicu terjadinya tsunami. (jbr/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini